Sunday, 18 November 2012

POLITIK EKONOMI

TUGAS MAKALAH POLITIK EKONOMI TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN DI ERA OTONOMI DAERAH OLEH : KETUA : AGTAMY KARTIKA (092130004) SEKRETARIS : ADHINA NUGRAHAENI (092130003) JURU BICARA : AGUNG BUDI RAHARJO (092130005) ANGGOTA : ADE SETIAWAN (092130002) ABSHOR FAJRI (092130001) FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN EKONOMI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO DAFTAR ISI DAFTAR ISI i BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1 BAB II PEMBAHASAN 4 BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN 11 3.2 SARAN 11 BAB 1V DAFTAR PUSTAKA 12 i BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah "negara berkembang" biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang "miskin". Kemiskinan juga dapat di lihat sebagai akibat dari sifat malas, kuranngnya kemampuan intelektual, kelemahan fisik, kurangnya dan rendahnya kemampuan untuk menanggapi persoalan di sekitarnya. Dalam perkembangan lebih lanjut, pandangan ini juga memasukkan faktor individual lain yang berupa adopsi budaya kemiskinan dan rendahnya need for achievement sebagai faktor penyebab kemiskinan. Pendek kata kemiskinan lebih dilihat dari cacat dan kelemahan individual. Sebagai contoh, sifat pemalas menjadikan segan untuk bekerja keras guna meningkatkan kondisi kehidupannya. Indonesia adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan alamnya melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin. Pada puncak krisis ekonomi tahun 1998-1999 penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24% dari jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang. Tahun 2002 angka tersebut sudah turun menjadi 18%, dan diharapkan menjadi 14% pada tahun 2004. Tetapi siapa yang dapat menjamin bahwa grafik jumlah penduduk miskin akan terus turun? Situasi terbaik terjadi antara tahun 1987-1996 ketika angka rata-rata kemiskinan berada di bawah 20%, dan yang paling baik adalah pada tahun 1996 ketika angka kemiskinan hanya mencapai 11,3%. 1 2 Bagaimana menerangkan bangunan ekonomi Indonesia dengan fenomena kemiskinan di dalamnya? Ketika angka kemiskinan menunjukkan tingkat terendah, justru tak lama setelah itu terjadi krisis ekonomi yang dahsyat, yang ternyata tak segera bisa diatasi. Dampak dari krisis tersebut masih terasa dan terlihat sampai sekarang. Kita lihat saja, jumlah pengemis melonjak tajam sejak tahun 1999. Para pengemis ini beroperasi dalam berbagai cara. Banyak yang menjadi pengamen dadakan, penodong di bis kota dan di persimpangan-persimpangan jalan raya, dan lain-lain. Dibandingkan tahun 2001-2002, situasi pada saat ini sudah menjadi lebih baik, namun jumlah pengemis yang beroperasi di masyarakat belum kembali ke keadaan sebelum krisis.Jika saja pemerintah menyisihkan beberapa milyar rupiah untuk memberdayakan para pengemis ini, maka situasi keamanan di kota-kota yang agak terganggu dengan kehadirian pengemis-penodong akan lebih cepat pulih. Dalam kenyataannya para pengemis Indonesia, termasuk di dalamnya para pengemis yang melakukan kegiatannya dengan kekerasan, telah ikut menciptakan rasa tidak aman di dalam masyarakat. Ditambah dengan kondisi kehidupan politik yang hiruk-pikuk seiring dengan bergulirnya perjuangan reformasi di segala bidang, maka citra umum mengenai kondisi keamanan di Indonesia menjadi kurang baik dan tidak kondusif untuk segera pulihnya kegiatan-kegiatan investasi di bidang ekonomi. Lambatnya proses pemulihan ekonomi dengan sendirinya berarti lambatnya pengurangan jumlah orang miskin. Dalam setengah tahun terakhir situasi tidak kondusif itu diperparah dengan terjadinya peristiwa pemboman di Bali pada bulan Oktober 2002, dan terakhir peristiwa invasi Amerika ke Irak. Semuanya menyebabkan hilangnya banyak lapangan kerja bagi berbagai lapisan masyarakat, khususnya lapisan pekerja kasar. Faktor-faktor kemiskinan adalah gabungan antara faktor internal dan faktor eksternal. Kebijakan pembangunan yang keliru termasuk dalam faktor eksternal. Korupsi yang menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat miskin juga termasuk faktor eksternal.Sementara itu, keterbatasan wawasan, kurangnya ketrampilan, kesehatan yang buruk, serta etos kerja yang rendah, semuanya merupakan faktor internal. Faktor-faktor internal dapat dipicu munculnya oleh faktor-faktor eksternal juga. Kesehatan masyarakat yang buruk adalah pertanda rendahnya gizi masyarakat. 3 Rendahnya gizi masyarakat adalah akibat dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya sumber daya alam. Selanjutnya, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) adalah akibat dari kurangnya pendidikan. Hal yang terakhir ini juga pada gilirannya merupakan akibat dari kurangnya pendapatan. Kurangnya pendapatan merupakan akibat langsung dari keterbatasan lapangan kerja. Dan seterusnya begitu, berputar-putar dalam proses saling terkait. Mengurai berbagai faktor penyebab kemiskinan tidak mudah dan tidak jelas harus mulai dari titik mana. Keterbatasan lapangan kerja, misalnya, seharusnya bisa diatasi dengan penciptaan lapangan kerja. Namun penciptaan lapangan kerja bukanlah hal yang begitu saja dapat dilakukan, misalnya dengan meminjam dari sumber-sumber pembiayaan luar negeri. Buktinya, pinjaman luar negeri Indonesia pada saat ini sudah mencapai lebih dari US$140 milyar, namun tetap tidak mudah bagi banyak warga negara, khususnya yang tidak memiliki ketrampilan khusus, untuk mendapatkan lapangan kerja. Upaya meningkatkan penguasaan iptek masyarakat juga bukan perkara yang mudah. Masalah utamanya adalah biaya pendidikan. Tetapi bukan hanya itu, budaya menghargai simbol-simbol formal di masyarakat Indonesia merupakan hal yang sangat menghambat kemajuan penguasaan iptek. Entah sejak kapan, manusia Indonesia merasa lebih terpandang di lingkungan masyarakatnya apabila telah memiliki ijazah kesarjanaan daripada memiliki kemampuan nyata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Akhirnya dunia pendidikan pun tidak tergerak untuk mencetak manusia-manusia siap pakai. Sekolah-sekolah kejuruan kurang berkembang. Orang merasa lebih bergengsi apabila tamat dari sekolah umum daripada sekolah kejuruan karena para siswa sekolah kejuruan dianggap kurang berkemampuan secara intelektual dibandingkan anak-anak dari sekolah umum. Alhasil, Indonesia tidak memiliki cukup tenaga teknis dan insinyur-insinyur lapisan menengah yang tumbuh dari bawah. Padahal sebagai salah satu negara sedang berkembang kebutuhan akan tenaga-tenaga teknis amat besar.Dengan demikian, kemiskinan yang dialami Indonesia di tengah-tengah kelimpahan sumber daya alamnya antara lain disebabkan oleh sistem pendidikan yang kurang sesuai dengan tahap perkembangan Indonesia. . BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 PROGAM PEMBERDAYAAN Upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia telah dilakukan sejak awal kemerdekaan. Misalnya, di bidang pendidikan, pemerintah melancarkan pemberantasan buta huruf tak terbatas di sekolah formal saja, namun juga secara non-formal. Di era Bung Karno, anak-anak usia sekolah bahkan “dikejar” agar mau masuk sekolah. Di era Pak Harto, dicanangkan wajib belajar sembilan tahun, dan hasilnya luar biasa. Hal ini ditunjukkan pada peningkatan peserta pendidikan dasar dari 62 persen anak-anak pada tahun 1973 menjadi lebih dari 90 persen pada tahun 1983. Namun, sampai saat ini tingkat buta huruf dilaporkan masih cukup tinggi di Indonesia, yaitu meliputi sekitar 5,9 juta orang yang berumur antara 10-44 tahun. Di bidang kesehatan, pemerintah meluncurkan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dan memperkenalkan sistem santunan sosial. Di era Orde Baru, sejak 1970-an, dikenalkan pusat pelayanan kesehatan di tingkat kecamatan (Puskesmas) agar lebih mudah terjangkau oleh masyarakat desa. Belakangan dibentuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di setiap desa. Pada awal 1990-an pembangunan pusat kesehatan masyarakat meningkat lebih tinggi daripada rumah sakit. Penempatan bidan di desa yang mendidik kader-kader dari kalangan penduduk desa sendiri, dan mendampingi kader dalam kegiatan rutin posyandu, menunjukkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Kaderisasi semacam ini meningkatkan peluang keberlanjutan program yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Program Keluarga Berencana juga merupakan program strategis untuk mengurangi tingkat kemiskinan keluarga.Melalui program transmigrasi, penduduk miskin dari daerah padat diberi peluang yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Pembukaan dan pengembangan tanah pertanian baru diharapkan dapat meningkatkan kesempatan kerja para transmigran. 4 5 Dalam rangka penanggulangan kemiskinan pula diluncurkan berbagai Inpres, seperti Inpres Kesehatan, Inpres Perhubungan, Inpres Pasar, Bangdes, dan yang agak belakangan namun cukup terkenal adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT). Dapat dicatat juga program-program pemberdayaan lainnya seperti Program Pembinaan dan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Program Tabungan dan Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Takesra-Kukesra), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), dan seterusnya. Hampir semua departemen mempunyai program penanggulangan kemiskinan, dan dana yang telah dikeluarkan pemerintah untuk pelaksanaan program-program tersebut telah mencapai puluhan trilyun rupiah. kini adalah seberapa besar efek pemberdayaan yang telah ditimbulkan berbagai program. struktur perekonomian Indonesia dengan mudah ambruk hal itu terjadi karena kurang seimbangnya perhatian yang diberikan pemerintah Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai kini pada pengembangan ekonomi kelompok-kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah dibandingkan dengan kelompok-kelompok usaha besar. Kelompok-kelompok usaha besar ini dalam perkembangannya kurang menjalin hubungan yang sifatnya saling memperkuat dengan kelompok-kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah. Apa yang dikatakan HS Dillon, pengamat masalah-masalah kemiskinan yang senantiasa menukik analisisnya, mungkin perlu disimak dengan baik. Dikatakan bahwa strategi pertumbuhan ekonomi yang cepat yang tidak dibarengi pemerataan merupakan kesalahan besar yang dilakukan para pemimpin negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Dalam menjalankan strategi tersebut, pinjaman luar negeri telah memainkan peran besar sebagai sumber pembiayaan. Padahal, sering terjadi adanya ketidaksesuaian antara paket pembangunan yang dianjurkan donor dengan kebutuhan riil masyarakat. Kebijakan fiskal dan moneter juga tidak pro kaum miskin, pengelolaan sumber daya alam kurang hati-hati dan tidak bertanggung jawab, [3] Jika dapat disimpulkan, maka penyebab kemiskinan di Indonesia bukanlah kurangnya sumber daya alam, melainkan karena faktor non-alamiah, yaitu kesalahan dalam kebijakan ekonomi. 6 Khusus pada era Orde Baru, kelompok-kelompok usaha yang telah memiliki sistem manajemen modern dengan jaringan koneksi internasional yang sudah cukup baik dapat memanfaatkan situasi yang tercipta dengan lebih baik karena telah lebih siap secara teknis. 2.2 HARAPAN DI ERA OTONOMI DAERAH Pembahasan perihal penanggulangan kemiskinan di era otonomi daerah mengandung pelajaran tentang peluang-peluang penanggulangan kemiskinan, baik dari bentuk lama yang disusun di pusat pemerintahan, maupun pola baru hasil susunan pemerintah daerah, mungkin disertai dukungan pemerintah pusat atau swasta di daerah. Otonomi Daerah memungkinkan peningkatan penanggulangan kemiskinan karena menghadapi jarak spasial maupun temporal yang lebih dekat dengan penduduk miskin itu sendiri. Selain itu peluang tanggung jawab atas kegiatan tersebut berada di tangan pemerintah di aras kabupaten dan kota, serta pemerintah desa.. Melalui perspektif tersebut otonomi berkaitan dengan upaya menggerakkan demokratisasi. Demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat yang mengandung pengertian bahwa semua manusia pada dasarnya memiliki kebebasan dan hak serta kewajiban yang sama. Di sini demokrasi lebih menekankan pada partisipasi dan artikulasi kepentingan rakyat dalam keputusan-keputusan publik. Pemerintah seharusnya memperhatikan kepentingan rakyat ke dalam sistem pemerintahannya. Setidaknya ada lima kemungkinan yang bisa terjadi dari suatu proses transisi demokrasi melalui pemberian otonomi daerah. Pertama, terbentuknya sistem otoriter dalam bentuk baru. Kedua, terjadi revolusi sosial yang disebabkan oleh menajamnya konflik-konflik kepentingan di tengah masyarakat. Ketiga, liberalisasi terhadap sistem otoriter, yang dilakukan oleh penguasa pasca masa transisi, dengan tujuan untuk mendapat dukungan politis dan mengurangi tekanan-tekanan masyarakat. Keempat, merupakan kebalikan dari yang ketiga, yaitu penyempitan proses demokrasi dari sistem liberal kepada demokrasi limitatif. Dan kelima, terbentuknya sistem pemerintahan yang demokratis.Sangat penting untuk mengarahkan kebutuhan kita menuju terbentuknya pemerintahan demokratis. Oleh sebab itu otonomi daerah menjadi penting. 7 Proses ke arah otonomi masyarakat memerlukan waktu panjang. Namun, tanda-tanda bahwa otonomi telah mengarah pada tujuan pemberdayaan masyarakat dapat ditemukan dalam observasi ke lima propinsi. Gejala awal adalah, kekurangtahuan atau pemahaman yang simpang-siur, keragu-raguan, kemudian pada akhirnya muncul keyakinan bahwa jalan otonomi adalah yang terbaik untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dalam jangka pendek, kegamangan berotonomi di daerah belum akan segera meningkatkan kemampuan pemerintah daerah untuk mengatasi kemiskinan di daerahnya masing-masing. Apabila pemberlakuan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa berimplikasi kepada penyeragaman desa-desa secara formal, maka UU Nomor 22 Tahun 1999 mengembalikan aturan-aturan adat pada tempatnya. Pada era otonomi daerah, komunitas “pra desa” memiliki hak hidupnya kembali. Bahkan masyarakat desapun dapat mengacu kepada hukum-hukum adat di desa tersebut dalam menentukan perkembangan desa selanjutnya. Arti penting pembentukan desa yang sesuai dengan aturan adatnya sendiri ialah terbentuknya suatu komunitas, yaitu masyarakat desa yang memiliki ikatan kesatuan yang kuat atau mendasar karena bersifat kultural. Kekuatan ini menjadi landasan bagi otonomi dan bangkitnya keberdayaan mereka. Selain itu masyarakat adat lazimnya juga mengatur pola-pola akses atau alokasi terhadap sumberdaya alam. Hal ini menunjukkan peluang untuk bekerja atau berusaha, sebagai salah satu jalan untuk menanggulangi kemiskinan di lingkungan mereka. Di antara faktor-faktor yang menghambat proses otonomi ialah terdapat aparat pemerintah kabupaten yang tidak yakin otonomi daerah akan berjalan –minimal sesuai dengan peraturan yang telah ada. Sulit bagi mereka untuk yakin bahwa pemerintah pusat bersedia menyerahkan urusan pemerintahan, dan terutama keuangan, kepada daerah..Selain bersumber dari sikap resistensi terhadap otonomi, faktor penghambat lainnya muncul secara faktual dari kemampuan pendanaan pembangunan. Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, diperlukan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 8 Dalam observasinya di lapangan, Pusat P3R-YAE menemukan bahwa kesangsian aparat pemerintah pusat mengenai otonomi daerah telah menyebabkan pemerintah kabupaten tidak menetapkan peraturan daerah mengenai pembagian keuangan – padahal item inilah yang menurut mereka paling penting diputuskan dalam rangka otonomi daerah. Aparat pemerintah kabupaten masih yakin bahwa pemerintah pusat akan menguasai sebagian besar pendapatan daerah. Dengan demikian diperkirakan aparat pemerintah kabupaten juga akan berupaya untuk menguasai sebagian besar pendapatan desa dalam bentuk pajak-pajak. faktor pendorong otonomi ke arah demokratisasi juga mulai terbentuk. Hubungan pihak-pihak pemerintah daerah, LSM dan perguruan tinggi setempat sudah dibuka peluangnya oleh Menteri Dalam Negeri pada tahun 2001 berupa kebijakan nasional “percepatan pelaksanaan otonomi daerah di tahun 2002”. Beberapa butir uraian Mendagri yang penting ialah upaya peningkatan kapasitas daerah dalam segala aspek, yaitu aspek kelembagaan, personil, keuangan, dan partisipasi masyarakat. Butir lainnya menunjukkan bahwa otonomi daerah dilaksanakan dalam derap kerja terkoordinasi (vertikal/horizontal) dan diupayakan dengan partisipasi penuh dari masyarakat melalui kegiatan LSM dan elemen masyarakat lainnya. Butir lainnya menjelaskan bahwa otonomi daerah dilaksanakan dengan mendorong pengembangan jaringan kerja (networking) dan optimalisasi dukungan kerjasama teknik luar negeri secara sistematis dan terencana. Dalam program prioritas peningkatan kapasitas daerah dan masyarakat, terdapat berkali-kali rujukan pada istilah di lapangan dan aplikasi lapangan. Hal ini menunjukkan pentingnya otonomi daerah terlaksana sampai di tingkat desa dan kelurahan serta melibatkan masyarakat, baik perorangan (laki-laki dan perempuan), keluarga, kelompok kecil, komunitas kecil, sampai komunitas lebih besar antar-desa maupun antar-kecamatan. Apabila semangat dan pola baru dalam pemerintahan sampai desa ini dipertahankan dan dilaksanakan, maka telah tercipta lingkungan yang kondusif bagi upaya-upaya penanggulangan kemiskinan yang self-sustained. Ke depan, masih diperlukan upaya dialog yang mempertemukan aparat Pemda, masyarakat, swasta serta pihak lain yang berminat menanggulangi kemiskinan. 9 Keberhasilan aparat Pemda dalam belajar menerapkan asas-asas pembangunan partisipatif akan membuka peluang yang besar dalam pemberdayaan rakyat. Indikator penting dalam melihat tanda-tanda keberlanjutan keberdayaan ialah terbukanya akses-akses sumberdaya di daerah yang mendukung pola nafkah penduduk miskin secara berkelanjutan. Upaya penanggulangan kemiskinan yang paling strategis dalam era otonomi daerah dapat dirumuskan dalam satu kalimat yaitu “berikan peluang kepada keluarga miskin dan komunitasnya untuk mengatasi masalah mereka secara mandiri”. Ini berarti pihak luar harus mereposisi peran mereka, dari agen pemberdayaan menjadi fasilitator pemberdayaan. Input yang berasal dari luar yang masuk dalam proses pemberdayaan harus mengacu sepenuhnya pada kebutuhan dan desain aksi yang dibuat oleh keluarga miskin itu sendiri bersama komunitasnya melalui proses dialog yang produktif agar sesuai dengan konteks setempat. Upaya-upaya menyeragamkan penanggulangan kemiskinan menurut model tertentu hanya akan menemukan kemungkinan yang lebih besar untuk gagal dalam mencapai sasarannya. Hal-hal yang perlu ditinggalkan oleh para pembuat kebijakan adalah melakukan kontrol yang mematikan insiatif maupun partisipasi penduduk miskin. Yang perlu segera dilaksanakan adalah membangun suatu paradigma pembangunan yang memihak kepada penduduk miskin. Dalam membangun paradigma golongan miskin perlu diikutsertakan, misalnya melalui perwakilan mereka. Pemerintah daerah dan pemerintah desa sebaiknya hanya melakukan pekerjaan yang benar-benar mampu mereka kelola. Untuk mencapai kemampuan manajemen tersebut, Pemerintah Daerah dan pemerintah desa perlu bekerjasama dengan pihak-pihak lain yang berminat dalam program penanggulangan kemiskinan. Dalam jangka panjang pemerintah bersama pihak-pihak lain yang berminat harus menanggulangi permasalahan tekanan donor menyangkut liberalisasi ekonomi agar tidak lebih jauh merugikan penduduk miskin. Otonomi daerah dan desa hendaknya diarahkan terutama untuk menanggulangi kemiskinan lokal. Dengan hilangnya kemiskinan, maka akan berkembang aspirasi demokrasi yang lebih besar dan lebih dewasa. 10 Dalam proses ke arah itu dibutuhkan pendampingan yang akan membantu mendorong tumbuhnya partisipasi penduduk miskin dalam proses pembangunan di lingkungannya. Juga perlu menguatkan kemampuan kelembagaan penduduk miskin dengan pelatihan dalam satuan kelompok-kelompok penduduk miskin bentukan mereka. Di dalam kelompok, mereka menjadi sadar akan posisi dan apa penyebab kemiskinan mereka, dan membuka peluang menggalang pemecahan masalah kemiskinan bersama. BAB 3 PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Kesimpulan utama dari kajian ini adalah bahwa percepatan penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan mengubah paradigma pemberdayaan masyarakat dari yang bersifat top-down menjadi partisipatif, dengan bertumpu pada kekuatan dan sumber-sumber daya lokal. Penanggulangan kemiskinan yang tidak berbasis komunitas dan keluarga miskin itu sendiri akan sulit berhasil. Proses otonomi daerah yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini, meskipun gamang pada awalnya, diyakini nanti akan berada pada jalur yang pas. Yang diperlukan adalah konsistensi dari pemerintah pusat untuk membimbing ke arah otonomi yang memberdayakan tersebut. Maka disarankan agar program-program penanggulangan kemiskinan ke depan mengarah pada penciptaan lingkungan lokal yang kondusif bagi keluarga miskin bersama komunitasnya dalam menolong diri sendiri. Hasil-hasil kajian Pusat P3R-YAE sebagaimana dikemukakan secara ringkas di atas merupakan masukan yang baik bagi pemerintah untuk lebih meningkatkan ketajaman program-program penanggulangan kemiskinan yang sedang direncanakan. Ke depan, pemerintah perlu melakukan dialog-dialog yang lebih mendalam dengan berbagai pelaku pemberdayaan masyarakat seperti LSM dan perguruan tinggi untuk mendapatkan masukan-masukan aktual bagi perencanaan strategi pembangunan yang partisipati.Dalam rangka meningkatkan komunikasi antara pemerintah dengan berbagai komponen masyarakat yang terkait dengan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat miskin, maka mungkin perlu menyebarluaskan hasil-hasil kajian seperti yang dihasilkan oleh Pusat P3R-YAE ini. 3.2 SARAN Marilah kita bersama untuk memberantas kemiskinan baik itu miskin moral ataupun harta yang ksemuanya itu bisa kita lakukan dari kegiatan yang kita lakukan saat ini sebagai mahasiswa. Contoh nya saja dengan menyumbangkan ilmu yang kita dapat kepada teman teman kita yang belum merasakan asyik nya dunia pendidikan. 11 DAFTAR PUSTAKA Dillon HS., 1999, masalah-masalah kemiskinan . Jakarta, 26 Januari 1999 Miro Fidel (2003). PENANGGULANGAN KEMISKINAN/Edisi/ Ke-3/Jilid 1. Penerbit Erlangga. WWW. YAHOO.COM WWW. GOOGLE.COM

No comments:

Post a Comment