Thursday, 22 November 2012
EKSTERNALITAS PRODUKSI DAN KONSUMSI
A. EKSTERNALITAS DALAM PRODUKSI
Perhatikanlah, bahwa dalam melangsungkan kegiatan produksinya, pabrik-pabrik aluminium itu menimbulkan polusi. Untuk setiap aluminium yang mereka produksi, sejumlah asap kotor yang mengotori atmosfer tersembur dari tanur pabrik-pabrik tersebut. Karena asap itu membahayakan kesehatan siapa saja yang menghirupnya, maka asap itu merupakan eksternalitas negatif dalam produksi aluminium. Bagaimana pengaruh eksternalitas negatif ini terhadap efisiensi hasil kerja pasar ?
Akibat adanya eksternalitas tersebut, biaya yang harus dipikul masyrakat yang bersangkutan secara keseluruhan dalam memproduksi aluminium lebih tinggi dari pada biaya yang dipikul oleh produsennya. Biaya sosial (social sost) untuk setiap unit aluminium yang diproduksikan, mencakup biaya produksi yang dipikul produsen – biasa disebut “biaya pribadi” (private cost) – plus biaya yang harus ditanggung oleh pihak lain yang ikut mengalami kerugian akibat polusi. Gambar 1-2 menunjukkan besarnya biaya sosial produksi aluminium. Kurva biaya sosial itu berada diatas kurva penawaran, karena di dalamnya tercakup pula biaya-biaya eksternal yang ditimpakan ke pundak masyarakat oleh para produsen aluminium. Nilai atas selisih atau jarak antara kedua kurva itulah yang mencerminkan biaya atau jumlah kerugian akibat polusi dari proses produksi aluminium.
Berapa banyak aluminium yang harus diproduksi (agar mencukupi kebutuhan aluminium, sekaligus tidak terlalu banyak menimbulkan polusi) ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, sekali lagi kita perlu membayangkan apa yang akan dilakukan oleh si pejabat pemerintah yang serba kuasa. Si pejabat ini ingin memaksimalkan surplus total yang dimunculkan pasar- yakni nilai bagi konsumen aluminium dikurangi biaya produksi aluminium. Namun ia juga mengetahui bahwa biaya produksi aluminium juga mencakup biaya-biaya eksternal seperti halnya polusi.
Perencana itu ingin mencapai tingkat produksi aluminium yang yang dilambangkan oleh titik perpotongan antara kurva permintaan dan kurva biaya sosial. Titik perpotongan inilah yang melambangkan jumlah produksi aluminium yang optimum bagi masyarakat secara keseluruhan. Si pejabat memang harus mencapai tingkat produksi itu, karena jika produksi ternyata dibawah tingkat itu, maka nilai aluminium bagi konsumennya (diukur oleh ketinggian kurva permintaan) akan melampaui biaya sosial produksinya (diukur oleh ketinggian kurva biaya sosial). Seandainya saja hal ini benar-benar terjadi, maka toleransi terhadap kelebihan produksi seperti polusi itu akan lebih besar sehingga polusi akan cenderung meningkat atau bahkan tidak terkendali. Sebaliknya, jika produksi melebihi tingkat optimum tersebut, maka biaya sosial produksi aluminium akan melebihi nilainya bagi konsumen. Andaikan hal ini yang terjadi, maka permintaan akan melemah, dan harga akan turun sehingga biaya produksi aluminium menjadi terlalu berat bagi produsen.
Perhatikanlah bahwa kuantitas produksi aluminium pada kondisi ekuilibrium, yakni QPASAR lebih besar dari pada kuantitas produksi yang secara sosial optimum atau QOPTIMUM Ini merupakan inefisiensi, dan penyebabnya adalah kuantitas produksi dalam kondisi ekuilibrium pasar itu hanya mencerminkan biaya produksi pribadi (yang hanya ditanggung produsen). Dalam ekuilibrium pasar tersebut, nilai aluminium bagi konsumen marginal lebih rendah dari pada biaya sosial produksinya. Artinya, pada QPASAR kurva permintaan terletak dibawah biaya kurva sosial. Pada situasi ini, penurunan konsumsi dan produksi aluminium hingga dibawah tingkat ekuilibriumnya, justru akan menikkan kesejahteraan ekonomi total (baik bagi konsumen maupun produsen).
Lalu bagaimana tingkat produksi optimum itu bisa dicapai ? Salah satu caranya adalah dengan mengenakan pajak kepada para produsen, atas setiap ton aluminium yang mereka jual. Pajak ini akan menggeser kurva penawaran aluminium ke atas, sebanyak besaran pajaknya. Jika pajak itu sesuai dengan nilai kerugian akibat asap, maka posisi kurva penawaran itu akan bersesuaian dengan kurva biaya sosial. Maka akan tercipta ekuilibrium baru di pasar, di mana tingkat produksi yang dilakukan para produsen akan optimum secara sosial.
Pengenaan pajak yang tepat itu dikatakan mampu menciptakan internalisasi eksternalitas (internalizing an externality), karena pajak tersebut memberi para konsumen dan produsen suatu insentif untuk memperhitungkan dampak-dampak eksternal dari tindakan-tindakan mereka. Produsen akan terdorong untuk menghitung biaya penanggulangan polusi sebagai bagian dari biaya produksi, sebelum mereka memutuskan kuantitas aluminium yang akan mereka produksikan (artinya mereka juga berusaha membatasi polusi yang ditimbulkan oleh proses produksinya, karena mereka harus membayar pajak atas setiap polusi yang tidak dikendalikan.
Meskipun banyak pasar dimana biaya sosial produksinya melebihi biaya pribadi, ada pula pasar-pasar yang justru sebaliknya, yakni biaya pribadi para produsen malahan lebih besar dari pada biaya sosialnya. Di pasar inilah, eksternalitasnya bersifat positif, dalam arti menguntungkan pihak lain (selain produsen dan konsumen). Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah pasar robot industri (robot yang khusus dirancang untuk melakukan kegiatan atau fungsi tertentu di pabrik-pabrik).
Robot adalah ujung tombak kemajuan teknologi yang mutakhir. Sebuah perusahaan yang mampu membuat robot, akan berkesempatan besar
menemukan rancangan-rancangan rekayasa baru yang serba lebih baik. Rancangan ini tidak hanya akan menguntungkan perusahaan yang bersangkutan, namun juga masyarakat secara keseluruhan karena pada akhirnya rancangan itu akan menjadi pengetahuan umum yang bermanfaat. Eksternalitas positif seperti ini biasa disebut “imbasan teknologi” (technology spillover).
Analisis atas eksternalitas positif tidak banyak berbeda dari analisis tentang eksternalitas negatif. Gambar 1-3 memperlihatkan pasar robot. Berkat adanya imbasan teknologi, biaya sosial untuk memproduksi sebuah robot lebih kecil dari pda biaya pribadinya. Oleh karena itu, pemerintah tentu saja ingin lebih banyak memproduksi robot dibanding produsernya sendiri.
Dalam kasus ini, pemerintah dapat membantu dengan melakukan internalisasi eksternalitas positif tersebut. Caranya misalnya dengan memberikan subsidi untuk setiap unit robot yang dibuat. Melalui subsidi ini, kurva penawaran akan terdorong ke bawah sebesar subsidi, dan pergeseran ini akan menaikkan ekuilibrium kuantitas produksi robot.
Agar ekuilibrium pasar yang baru itu sama dengan titik optimum sosial, maka subsidinya harus diusahakan sama dengan nilai imbasan teknologi.
B. EKSTERNALITAS DALAM KOMSUMSI
Sejauh ini, eksternalitas yang telah kita bahas hanya eksternalitas yang berkaitan dengan kegiatan produksi. Selain itu masih ada eksternalitas yang terkandung dalam kegiatan konsumsi. Konsumsi minuman beralkohol, misalnya, mengandung eksternalitas negatif jika si peminum lantas mengemudikan mobil dalam keadaan mabuk atau setengah mabuk, sehingga membahayakan pemakai jalan lainnya. Eksternalitas dalam konsumsi ini juga ada yang bersifat positif. Contohnya adalah konsumsi pendidikan. Semakin banyak orang yang terdidik, masyarakat atau pemerintahnya akan diuntungkan. Pemerintah akan lebih mudah merekrut tenaga-tenaga cakap, sehingga pemerintah lebih mampu menjalankan fungsinya dalam melayani masyarakat.
Analisis terhadap eksternalitas dalam konsumsi ini, mirip dengan yang telah kita lakukan terhadap eksterlitas dalam produksi. Pada gambar 1-4, kurva permintaannya tidak lagi melambangkan nilai sosial dari suatu barang. Panel (a) memperlihatkan kasus eksternalitas negatif dalam konsumsi,
Misalnya, konsumsi minuman beralkohol. Dalam kasus ini, nilai sosialnya lebih kecil dari pada nilai pribadinya (private value, atau nilai minuman beralkohol bagi para peminum minuman beralkohol itu sendiri), dan kuantitas penawaran minuman beralkohol yang optimum secara lebih sosial lebih rendah dari pada kuantitas penawaran yang ada di pasar. Sedangkan panel (b) menunjukkan kasus eksternalitas positif dalam konsumsi, misalnya konsumsi pendidikan. Dalam kasus ini, nilai sosial lebih besar dari pada nilai pribadi, dan kuantitas yang ooptimal secara sosial juga lebih besar dari pada kuantitas yang diinginkan pasar secara pribadi (yang diinginkan oleh produsennya saja).
Dalam kasus tersebut, pemerintah juga dapat mengoreksi kegagalan pasar tersebut melalui internalisasi eksternalitas. Langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah pada kasus eksterlitas dalam konsumsi ini, mirip dengan yang dapat dikerjakannya pada kasus eksterlitas dalam produksi. Untuk menggerakkan ekuilibrium pasar mendekati titik optimum sosial, keberadaan eksterlitas negatif itu dapat ditekan melalui penerapan pajak, sedangkan untuk eksterlitas positif dapat diimbangi dengan pemberian subsidi. Hal ini sama persis seperti terjadi dalam kenyataannya. Di berbagai negara, pemerintah senantiasa mengenakan pajak terhadap berbagai jenis minuman beralkohol, dan pajaknya biasanya tergolong paling tinggi bila dibandingkan dengan pajak untuk barang-barang konsumsi lainnya. Demikian pula, pemerintah di semua negara selalu berusaha menyubsidi pendidikan melalui pengadaan sekolah negara berbiaya murah (atau bahkan bebas biaya ) dan pemberian beasiswa.
Dari berbagai contoh yang diutarakan diatas, kita dapat memetik beberapa kesimpulan umum. Yakni, keberadaan eksternalitas negatif dalam konsumsi maupun produksi, mendorong pasar menghasilkan output produksi dalam kualitas lebih banyak dari pada yang diinginkan secara sosial. Sebaliknya, keberadaan eksternalitas positif dalam konsumsi maupun produksi mendorong pasar menghasilkan output produksi dalam kuantitas lebih sedikit dibanding yang diinginkan secara sosial. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah perlu campur tangan dengan melakukan internalisasi eksternalitas melalui pemberlakuan pajak terhadap barang-barang yang mengandung eksternaliatas negatif, serta memberikan subsidi bagi produksi barang-barang yang mengandung eksternalitas positif.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment