Thursday, 29 November 2012

pasar komando dan ekonomis campuran

PASAR KOMANDO DAN EKONOMIS CAMPURAN Masyarakat melalui sistem ekonomi alternatif, mempelajari mekanisme masyarakat untuk mengalokasikan sumber daya yang langka. Dua cara secara fundamental yaitu satu ekstrim, pemerintah membuat keputusan yang paling ekonomis dengan memberikan perintah kepada orang-orang lanjut ekonomi menuruni tangga. Ekstrim kedua yaitu keputusan dibuat dipasar, dimana individu atau sukarela setuju untuk pertukaran barang dan jasa. Biasanya melalui 2 bentuk organisasi ekonomi. Sebuah ekonomi pasar adalah individu dan perusahaan swasta membuat keputusan besar tentang produksi dan konsumsi. Perusahaan menghasilkan komoditas yang menghasilkan keuntungan tertinggi. Apa teknik-teknik produksi yang paling mahal (bagaimana). Konsumsi ditentukan oleh individu tentang menghabiskan upah dan pendapatan property yang dihasilkan. Kepemilikan property (untuk siapa). Kasus ekstrim dari ekonomi pasar, pemerintah terus tangani dari keputusan ekonomi yang disebut ekonomi laissez-faire. Ekonomi komando adalah satu dimana pemerintah membuat semua keputusan penting tentang produksi dan distribusi. Pemerintah memiliki sebagian besar alat-alat produksi (tanah dan modal), juga memiliki dan mengarahkan perusahaan. Ekonomi perintah, pemerintah menjawab pertanyaan ekonomi utama melalui kepemilikan sumber daya dan kekuatan untuk menegakkan keputusan. Ekonomi dicampur dengan unsur-unsur pasar dan perintah. Tidak pernah ekonomi 100% pasar.

Masalah organisasi ekonomi

B. TIGA MASALAH ORGANISASI EKONOMI Setiap negara harus menghadapi suatu penyelesaian 3 masalah ekonomi yang mendasar yaitu : o Apa komoditi yang di produksi dan dalam jumlah berapa ? Menentukan berapa banyak barang dan jasa yang akan dibuat. Kita akan memproduksi lebih sedikit barang-barang konsumsi atau barang-barang investas yang lebih yang akan meningkatkan produksi dan konsumsi. o Bagaimana barang yang dihasilkan ? Menentukan siapa yang akan melakukan produksi, dengan apa sumber daya , apa teknik produksi yang akan digunakan. o Untuk siapa barang di produksi ? Bagaimana produk nasional dibagi diantara rumah tangga yang berbeda? Untuk orang miskin dan kaya, untuk yang pendapatan tinggi. Positif ekonomi menggambarkan fakta ekonomi, sementara ekonomi normatif melibatkan pertimbangan nilai. Ilmu ekonomi normative melibatkan ajaran etika dan norma-norma keadilan.

cara membaca grafik / kurva ekonomi

CARA MEMBACA GRAFIK Menguasai ekonomi harus memiliki pengetahuan kerja grafik dengan penggunaan diagram. Grafik adalah diagram yang menunjukkan dua set lebih atau data atau variabel yang terkait satu sama lain. Grafik sangat penting di bidang ekonomi karena memungkinkan kita untuk menganalisis konsep-konsep ekonomi. Beberapa grafik dalam ringkasan ini menunjukkan variabel berubah dari waktu ke waktu dan akan membantu memahami hukum ekonomi yang penting. KEMUNGKINAN PRODUKSI Grafik pertama adalah frontier produksi-kemungkinan. Produksi kemungkinan frontier atau PPF mewakili jumlah maksimum barang dan jasa yang di produksi dengan sumber daya ekonomi. Tabel 1A-1. Pasangan Keluaran Kemungkinan Makanan dan Mesin : Kemungkinan Makanan Mesin A 0 150 B 10 140 C 20 120 D 30 90 E 40 50 F 50 0 Tabel diatas dapat juga di sajikan sebagai grafik. Untuk membuat grafik mewakili masing-masing pasangan tabel dari data dengan satu titik pada bidang dua dimensional. Gambar 1A-1 menmpilkan grafik hubungan antara makanan dan mesin output ditampilkan dalam tabel 1A-1. Setiap sepasang angka diwakili oleh satu titik dalam grafik. Jadi baris berlabel A di tabel 1A-1 digambarkan sebagai sesosok 1A-1 dan juga untuk poin B, C dst. Garis horizontal pada grafik disebut sumbu horizontal (sumbu x). Gambar 1A-1 Kemungkinan Enam Pasangan Makanan-Mesin Tingkat Produksi Angka ini menunjukkan data dari tabel 1A-1 dalam bentuk grafik. Kurva halus Dalam hubungan ekonomi yang variabel dapat perubahan dengan jumlah kecil serta peningkatan besar ditunjukkan pada gambar 1A-1. gambar 1A-2 menunjukkan PPF sebagai kurva halus dimana titik-titik dari A ke F telah terhubung. Slopes dan Garis Gambar 1A-2 menggambarkan hubungan antara makanan maksimum dan produksi mesin. Menggambarkan hubungan antara variabel adalah dengan kemiringan garis grafik. Kemiringan garis grafik mewakili perubahan dalam satu variabel yang terjadi ketika variabel lain berubah. Perubahan dalam variabel Y pada sumbu vertikal per unit , perubahan X variabel pada sumbu horosontal. Contoh : gambar 1A-2 mengatakan bahwa produksi pangan naik 25-26 unit. Kemiringan kurva pada gambar 1A-2 mengatakan perubahan yang tepat dalam produksi mesin yang berlangsung. Lereng adalah ukuran numeric yang tepat dari hubungan antara perubahan dalam Y dan X. Kita dapat menggunakan gambar 1A-3 untuk menunjukkan kemiringan garis antara B dan D. gerakan pertama horizontal dari B ke C menunjukkan kenaikan 1unit pada nilai X ( dengan tidak ada perubahan di Y). Kedua gerakan vertikal ke atas ditampilkan sebagai s. Gerakan dua langkah membawa kita dari satu titik ke titik lain pada garis lurus. Karena gerakan BC adalah peningkatan 1 unit di X, panjang dari CD menunjukkan perubahan Y per unit perubahan X disebut juga kemiringan garis ABCF. Seringkali lereng didefinisikan sabagai “naik selama menjalankan”. Meningkat adalah jarak vertikal. Pada gambar 1A-3, kenaikan jarak dari C ke D. menjalankan adalah jarak horizontal, itu adalah SM pada gambar 1A-3. kenaikan dalam jangka dalam hal ini akan CD melalui SM. Jadi kemiringan BD adalah CD/SM. Point-poin kunci memahami tentang slopes adalah : 1. Kemiringan dapat dinyatakan sebagai sebuah nomor. 2. Jika garis lurus , slopes adalah konstan dimana-mana. 3. Slopes garis menunjukkan hubungan antara X dan Y adalah langsung. Hubungan langsung terjadi antara variabel bergerak dalam arah yang sama. Hubungan terbalik terjadi ketika variabel bergerak dalam arah berlawanan. Pada gambar A1-3 kemiringan negatif menunjukkan hubungan XY adalah langsung karena peningkatan X untuk penurunan Y. Garis Melengkung disebut stepsness dan tidak sama dengan slopes. Meskipun menampilkan hubungan yang sama , keduanya memiliki kemiringan setengah tapi sumbu x telah membentang di (b). panel (a) dan (b) sama tapi dalam (b) skala horizontal telah membentang keluar dibandingkan (a). Garis melengkung atau nonlinear adalah salah satu kemiringan yang berubah. Pada gambar 1A-5 pada titik B adalah positif. Untuk mencari kemiringan garis melengkung halus pada suatu titik, harus menghitung kemiringan garis lurus yang hanya menyentuh pada titik tersebut. Kemiringan garis melengkung di sebuah titik yang diberikan oleh kemiringan garis lurus yang bersinggungan dengan kurva di titik yang diberikan. Jadi FBMJ garis singgung pada kurva mulus ABDE pada titik B, kemiringan B dihitung sebagai kemiringan garis tangent NJ/MN. Pada gambar 1A-6 menunjukkan khas kurva ekonomi mikro yang berbentuk kubah dan memiliki maksimum pada titik C. Dapat menggunakan metode dari lereng sebagai bersinggungan dengan melihat bahwa kemiringan kurva selalu positif (dari A ke C) lihat titik B, didaerah kurva meningkat dan negatif di daerah jatuh (dari C ke E) lihat titik D. Pada maksimum kurva, sebuah kemiringan nol pada titik C menandakan bahwa sebuah gerakan kecil dalam variabel X sekitar maksimum tidak berpengaruh pada nilai dari variabel Y. Pergerakan dan Pergeseran Kurva Perbedaan penting dalam ilmu ekonomi adalah bahwa antara pergeseran kurva, dan gerakan sepanjang kurva. Pada gambar 1A-7 pada titik D investasi yang tinggi ke E investasi rendah. ( masyarakat untuk memilih produksi 30 unit makanan dan 90 unit mesin, jika masyarakat memutuskan untuk mengkonsumsi lebih banyak makanan dengan PPF yang diberikan maka dapat bergerak ke titik E ) Dari pergeseran kurva seperti dari D dalam satu tahun awal untuk G dalam satu tahun kemudian. Spesial Grafik PPF adalah salah satu grafik yang paling penting dari ekonomi yang menggambarkan hubungan antara dua variabel ekonomi. Time Series Beberapa grafik menunjukkan bagaimana variabel practicular telah berubah dari waktu ke waktu. Misalnya pada grafik depan bagian teks ini. Grafik sebelah kiri menunjukkan serangkaian waktu dalam sejak revolusi Amerika, dari variabel makroekonomi yang signifikan , rasio utang government federal produk domestic bruto atau PDB. Waktu grafik seri memiliki waktu pada sumbu horizontal dan variabel kepentingan pada sumbu vertikal. Grafik ini menunjukkan bahwa rasio utang PDB meningkat tajam selama setiap perang besar. Diagram Pencar Diagram pencar dari makroekonomi adalah fungsi konsumsi. Pada gambar 1A-8 menunjukkan total pendapatan pada sumbu horizontal dan konsumsi total pada sumbu vertikal. Konsumsi sangat erat terkait dengan pendapatan, satu petunjuk penting untuk perubahan dalam pendapatan nasional dan pengeluaran. Pada gambar 1A-8 menunjukkan hukum ekonomi makro penting. Belanja konsumsi jatuh di dekat garis CC yang menampilkan perilaku rata-rata dari waktu ke waktu. Untuk tahun 1990 dekat garis CC cukup kuat di prediksi dari baris sebelum tahun berakhir. Diagram multicurve Yaitu diagram yang lebih dari satu kurva yang berguna untuk menempatkan dua kurva dalam grafik yang sama. Contohnya diagram pasokan dan permintaan, pada bab 3 hal 52. dua hubungan grafik tersebut dapat menentukan harga dan kuantitas yang akan memegang dipasar.

sejarah mikro dan makro ekonomi

MIKROEKONOMI dan MAKROEKONOMI Adam smith sebagai pendiri bidang mikroekonomi, cabang ekonomi yang saat ini berkaitan dengan perilaku entitas individual seperti pasar , perusahaan dan rumah tangga. Makroekonomi berkaitan dengan kinerja ekonomi secara keseluruhan. Mikroekonomi dan makroekonomi menyatu untuk membentuk ilmu ekonomi modern. LOGIKA EKONOMI Kehidupan ekonomi adalah sarang sangat rumit aktivitas, dengan membeli orang, menjual, tawar menawar, investasi, membujuk dan mengancam. Pendekatan teoritis memungkinkan ekonom untuk membuat generalisasi yang luas, seperti kita yang menyangkut keuntungan dari perdagangan internasional dan spesialisasi atau kerugian dari tariff dan kuato. Pendekatan terakhir adalah penggunaan analisis statistik. Teknik khusus yang dikenal sebagai ekonometri. Contohnya : orang berdebat tentang dampak upah minimum yang lebih tinggi. Ekonom menyimpulkan bahwa kemungkinan besar meningkatkan upah minimum akan mengurangi tenaga kerja dan upah. Berikut kesalahan-kesalahan yang dihadapi dalam pemikiran ekonomi: • Kesalahan post hoc Melibatkan inferensi kausalitas. Kesalahan terjadi ketika kita berasumsi bahwa karena satu peristiwa terjadi peristiwa lain. Contohnya : depresi besar di Amerika Serikat tahun 1930 menyimpulkan bahwa obat untuk depresi adalah meningkatkan upah dan harga yang menyebabkan sejumlah undang-undang dan peraturan menopang upah, harga Yng tidak efisien. • Kegagalan untuk menhan hal-hal yang konstan. Contoh : dengan menaikkan tarif pajak akan meningkatkan atau menurunkan tarif pajak atau tidak? Mereka berpendapat bahwa tarif pajak pemotongan pada saat yang sama akan meningkatkan pendapatan pemerintah dan menurunkan defisit anggaran. Mereka berpendapat tariff pajak yang rendah menghasilkan pendapatan yang tinggi. Argument ini mengabaikan kenyataan bahwa ekonomi masyarakat dan pendapatan pemerintah tumbuh selama periode 1964-1965. Dampak variabel pada sistem ekonomi : • Kesalahan komposisi Contoh : 1) Jika satu petani panen maka memiliki pendapatan tinggi, jika semua petani panen maka pendapatan petani akan jatuh. 2) Jika satu orang menerima uang maka dia akan lebih baik, jika semua orang menerima uang maka masyarakat akan cenderung lebih baik.

eksternalitas produsen

A. Eksternalitas Produsen Dari penjelasan diatas telah diuraikan bahwa eksternalitas merupakan suatu efek samping yang harus diterima oleh suatu pelaku ekonomi karena kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pelaku ekonomi yang lain dengan tanpa adanya kompensasi. Pelaku ekonomi tersebut dapat berupa produsen ataupun konsumen. Eksternalitas yang disebabkan karena tindakan ekonomi suatu produsen itulah yang disebut dengan eksternalitas produsen. Saat produsen melakukan kegiatan ekonomi dan menimbulkan efek samping terhadap pihak lain dengan tidak memberikan kompensasi apapun, maka telah terjadi eksternalitas produsen. B. Dampak Eksternalitas Produsen Ditinjau dari dampaknya, eksternalitas dapat dibagi menjadi dua, yaitu eksternalitas positif dan eksternalitas negatif. Eksternalitas positif adalah dampak yang menguntungkan dari suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu produsen terhadap pihak lain tanpa adanya kompensasi dari pihak lain yang diuntungkan, sedangkan eksternalitas negatif adalah dampak yang merugikan dari suau tindakan ekonomi yang dilakukan oleh produsen terhadap pihak lain tanpa adanya kompensasi dari pihak yang merugikan dalam hal ini adalah produsen. Dalam hal adanya eksternalitas dalam suatu aktivitas, maka akan timbul inrfisiensi. Inefisiensi akan timbul apabla tindakan seseorang mempengaruhi orang lain dan tidak terhitung dalam sistem harga. Misalnya seorang pengusaha pemilik pabrik yang membuang limbah ke sungai dan menyebabkan masyarakat pengguna air sungai tersebut menjadi sakit. Dalam menentukan harga barang hasil produksinya pengusaha tersebut hanya memperhitungkan analisa rugi-laba perusahaan tanpa memperhatikan pengaruh dampak negatifnya terhadap masyarakat. Sehingga bagi seluruh masyarakat tidak tercapai efisiensi yang optimum. Secara umum adanya eksternalitas tidak akan menganggu tercapainya efisiensimasyarakat apabila semua dampak yang merugikan maupun yang menguntungkan dimasukkan dalam perhitungsn produsen dalam menetapkan jumlah barang yang diproduksikan. Dalam hal ini efisiensi akan tercapai apabila : MSC = PMC + MEC MSB = MPB + MEB Dimana : MEC : marginal external cost PMC : marginal private cost MEB : marginal external benefit MPB : marginal private benefit MSC : marginal social cost MSB : marginal social benefit  Eksernalitas produksi negatif Efisiensi ekonomi akan tercapai apabila MSC = MSB, padahal dalam kenyataannya seorang pengusaha tidak pernah memperhitungkan MEC dan MEB dalam menentukan harga dan jumlah barang yang dihasilkannya sehingga dapat dituliskan bahwa PMC = MPB(MEC & MEB = 0). Apabila dalam melakukan kegiatan produksi timbul suatu eksternalitas negatif, akan menjadi PMC MSB, sehingga produksi haruslah dikurangi agar efisiensi produksi ditinjau dari masyarakat mencapai optimum. Rp MSC=PMC+MEC e H1 PMC H d MEC MSB O Q1 Q2 jumlah produksi Diagram kurva diatas menunjukkan manfaat masyarakat(MSB) atas produksi. Tingkat output yang optimum terjadi pada tingkat produksi sebesar OQ1. Seorang pengusaha akan cenderung menetapkan tingkat produksi sebesar OQ2, yaitu dimana kurva permintaan (MSB) memotong kurva PMC, sehingga tampak bahwa jumlah yang diproduksi terlalu banyak dibandingkan tingkat produksi yang optimum.  Eksternalitas produksi positif Dalam kasus eksternalitas positif pengusaha tidak akan memeperhitungkan eksternalitas positif yang diakibatkan oleh usahanya terhadap pihak lain atau MEB (MEB=0) sehingga akan menyebabkan kecenderungan tingkat produksi yang terlalu rendah dilihat dari efisiensi seluruh masyarakat. Ini disebabkan karena pengusaha menentukan tingkat produksi pada PMC=MPB sedangkan bagi masyarakat,tingkat produksi yang efisien akan terjadi di mana MSB=MPB+MEB=MSC=PMC+MEC. Dengan asumsi MEC=0,maka akan terlihat MSB>MPB sedangkan MSC=PMC. Selama MSB>MSC produksi seharusnya ditingkatkan sampai MSB=MSC. Harga PMC MSC H1 H0 MPB Q0 Q1 Diagram kurva diatas menunjukkan kasus eksternalitas positif. Pengusaha akan menentukan jumlah produksi pada OQ0 karena MPB=PMC. Adanya eksternalitas produksi yang positif menyebabkan kurva MSC dibawah kurva PMC(MSC

Thursday, 22 November 2012

ARTIKEL TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM)

ARTIKEL Total quality management (TQM) (tahun 1960) setelah era 1960-an, jepang dan negara – negara eropa serta amerika serikat menyadari bahwa masalah kualitas tidak mungkin cukup dikelola hanya oleh sekelompok kecil para profesional dibidang kualitas dalam kepentingan sebuah industri atau organisasi kerja. Akan tetapi, masalah kualitas adalah tanggung jawab seluruh fungsi organisasi kerja yang terlibat di dalamnya, baik dari tingkat manajemen sampai dengan pelaksana. Oleh karena pandangan tersebut, muncullah sebuah pendekatan konsep manajemen yang berorientasi pada kualitas yang dikenal dengan “Tota Quality Management (TQM)”. Pada dasarnya, TQM adalah sebuah konsep manajemen strategi pencapaian sukses jangka panjang yang berorientasi pada kepuasan konsumen dengan dukungan dan partisipasi dari seluruh anggota organisasi kerja internal maupun eksternal, peningkatan proses, kinerja produk, kinerja pelayanan, dan faktor – faktor kultural. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh w. Edwards Deming, Kaoru Ishikawa, Josep M. Juran, dan beberapa tokoh dibidang kualitas lainnya. (strategi six sigma oleh anang hidayat) TQM adalah pendekatan manajemen pada suatu organisasi, berfokus pada kualitas dan didasarkan atas partisipasi dari keseluruhan sumber daya manusia dan ditujukan pada kesuksesan jangka panjang melalui kepuasan pelanggan dan memberikan manfaat pada anggota organisasi (sumber daya manusianya) dan masyarakat TQM juga diterjemahkan sebagai pendekatan berorientasi pelanggan yang memperkenalkan perubahan manajemen yang sistematik dan perbaikan terus menerus terhadap proses, produk, dan pelayanan suatu organisasi. Proses TQM memiliki input yang spesifik (keinginan, kebutuhan, dan harapan pelanggan), mentransformasi (memproses) input dalam organisasi untuk memproduksi barang atau jasa yang pada gilirannya memberikan kepuasan kepada pelanggan (output). Tujuan utama Total Quality Management adalah perbaikan mutu pelayanan secara terus-menerus. Dengan demikian, juga Quality Management sendiri yang harus dilaksanakan secara terus-menerus. Sejak tahun 1950-an pola pikir mengenai mutu terpadu atau TQM sudah muncul di daratan Amerika dan Jepang dan akhirnya Koji Kobayashi, salah satu CEO of NEC, diklaim sebagai orang pertama yang mempopulerkan TQM, yang dia lakukan pada saat memberikan pidato pada pemberian penghargaan Deming prize di tahun 1974 (Deming prize, established in December 1950 in honor of W. Edwards Deming, was originally designed to reward Japanese companies for major advances in quality improvement. Over the years it has grown, under the guidance of Japanese Union of Scientists and Engineers (JUSE) to where it is now also available to non-Japanese companies, albeit usually operating in Japan, and also to individuals recognised as having made major contributions to the advancement of quality.) Banyak perusahaan Jepang yang memperoleh sukses global karena memasarkan produk yang sangat bermutu. Perusahaan/organisasi yang ingin mengikuti perlombaan/ bersaing untuk meraih laba/manfaat tidak ada jalan lain kecuali harus menerapkan Total Quality Management. Philip Kolter (1994) mengatakan “Quality is our best assurance of custemer allegiance, our strongest defence against foreign competition and the only path to sustair growth and earnings”. Peningkatan produktivitas bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan antara lain meningkatkan efisiensi di bidang input atau meningkatkan hasil per satuan unit input yang digunakan dalam proses itu. Efisiensi input bisa dilakukan dengan menekan biaya produksi terutama biaya tenaga kerja. Namun pendekatan ini diragukan keberhasilannya karena hal itu akan berarti menurunkan standar hidup buruh, oleh karenanya jika pendekatan ini dilakukan malah akan menyebabkan kontra produktif. Pengalaman di Jepang untuk meningkatkan produktivitas ini adalah dengan mengintroduksi penggunaan robot terutama bagi pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang, berbahaya dan pekerjaan yang kurang disenangi. Namun cara itu bagi Amerika Utara dianggap akan menyebabkan kehilangan pekerjaan. Munculnya berbagai persoalan tersebut pada akhirnya membawa solusi dengan memberikan perhatian pada faktor manusia. Bagaimana mengarahkan karyawan sedemikian rupa sehingga dapat mencapai kepuasan yang lebih besar, memperoleh motivasi yang lebih tinggi dan dengan demikian menjadi lebih produktif? Kuncinya terletak dalam partisipasi karyawan pada semua tingkatan dalam organisasi dalam proses pengambilan keputusan. Sehingga muncull konsep “Gugus Kendali Mutu” (GKM) atau disebut juga Quality Control Circle (QCC). Sejalan dengan arus globalisasi, istilah GKM atau QCC semakin sering digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam upaya menuju Total Quality Management (TQM) atau manajemen kualitas terpadu. Suatu sistem manajemen kualitas merupakan sekumpulan prosedur terdokumentasi dan praktek-praktek standar untuk manjemen sistem yang bertujuan menjamin kesesuaian dari suatu proses dan produk terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu. Istilah Manajemen Mutu/Kualitas dewasa ini lazim dan merupakan metoda yang biasa digunakan oleh manajer untuk memberikan bukti pengendalian yang diperlukan untuk memuaskan pelanggan dan kebutuhan pemegang saham. TQM hanya dapat dicapai dengan memperhatikan karakteristik sebagai berikut: 1. Fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal. 2. Memiliki obsesi yang tinggi terhadap kualitas. 3. Menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. 4. Memiliki komitmen jangka panjang. 5. Membutuhkan kerjasama tim (teamwork). 6. Memperbaiki proses secara berkesinambungan. 7. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. 8. Memberikan kebebasan yang terkendali. 9. Memiliki kesatuan tujuan. 10. Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan (Tjiptono & Diana 2001:5). Prinsip-prinsip yang mempedomani TQM mencakup: 1) promosi lingkungan yang berfokus pada mutu, 2) pengenalan kepuasan pelanggan sebagai indikator kunci pelayanan bermutu dan 3) perubahan sistem, perilaku dan proses dalam rangka menjalankan perbaikan selangkah demi selangkah dan terus menerus terhadap barang dan pelayanan yang disediakan oleh sebuah organisasi (deliveri.com). Lingkungan yang berfokus pada mutu adalah sebuah organisasi dimana pengadaan pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keperluan pelanggan dan dengan biaya terjangkau menjadi konsensus di kalangan anggota organisasi tersebut. Inti pendekatan semacam ini adalah tingkat kepuasan pelanggan terhadap pelayanan, yang dengan sendirinya menunjukkan efektifitas pelayanan. Kunci untuk mengatasi tantangan tersebut di atas adalah mempromosikan perubahan pada sistem manajemen dan perilaku organisasi penyedia pelayanan. Hal ini mencakup membangun komitmen untuk perubahan, mempromosikan partisipasi semua pihak terkait dan memberdayakan tim kerja. Komitmen untuk merubah pendekatan organisasi dalam hal pengadaan pelayanan bermula dari tingkat manajer senior, tetapi perubahan itu sendiri dimanifestasikan oleh seluruh staf pada semua lapisan. Agar TQM berhasil, maka baik klien maupun tim kerja harus menjadi mitra aktif dalam pengambangan pelayanan. Secara khusus, agar pelanggan puas maka staf harus memiliki keahlian yang dibutuhkan dan rasa memiliki terhadap pelayanan. Pegawai pada semua tingkatan harus bisa melatih keleluasaan dalam memenuhi kebutuhan pelanggan, baik di dalam maupun di luar organisasi. Di Indonesia, cakupan pengambilan keputusan pegawai negeri masih relatif kecil, karena mereka harus menunggu izin dari atasan mereka. Untuk berpindah dari lingkungan yang struktural dan hierarkis menuju ke pemberdayaan pegawai, perlu perubahan perilaku, ilmu dan pengetahuan baru yang cukup subtansial. Perubahan-perubahan struktural utama yang diperlukan untuk mendukung proses ini mencakup pengenalan dan penghargaan terhadap kreatifitas serta inovasi, pengenalan perbaikan yang progresif dan berlanjut serta mengadakan pelatihan untuk para staf secara terus menerus. Urgensi pengadaan pelatihan dan pendidikan secara berkesinambungan tidak bisa dipandang remeh. Untuk mencipatakan tim kerja yang terberdayakan, maka semua orang dalam lingkungan TQM perlu mendapatkan kemampuan tambahan untuk mengembangkan proses dan kinerja. Pelatihan keahlian kerja yang spesifik harus disediakan dan diperbaharui terus menerus untuk merefleksikan proses yang telah berkembang. Biasanya, tangapan awal terhadap TQM cukup positif, namun kerap hanya dalam bentuk dukungan verbal semata. Masalah mulai muncul ketika diperlukan dukungan aktif dari para manajer senior untuk menciptakan atmosfer yang kondusif, dimana staf bisa bereksperimen dan mempelajari pendekatan baru tanpa takut disalahkan, atau ketika terjadi tekanan untuk melaksanakan "proyek pesanan" (top-down). Keadaan ini bisa menyempitkan ruang lingkup TQM dan membuatnya tidak bisa berjalan dalam jangka panjang. Dalam studi banding program TQM pada kantor-kantor Dinas diketahui bahwa tipe kepemimpinan sangat instrumental dalam menanggulangi masalah tersebut. Jika manajemen senior hanya memberikan dukungan verbal, maka staf akan merespon prinsip-prinsip TQM hanya di mulut saja. Sebaliknya, jika manajemen senior berpartispasi aktif dalam proses, maka akan terjadi perubahan kualitatif mengenai kinerja para staf (deliveri.com). IMPLEMENTASI TOTAL QUALITY MANAGEMENT A. PERUBAHAN LINGKUNGAN Dalam era globalisasi dan liberalisasi perdagangan, terjadi berbagai perubahan dalam hampir semua aspek, misalnya dalam aspek ekonomi, politik, sosial budaya, teknologi, hukum, hankam, dan aspek lainnya. Berbagai tren baru dalam lingkungan manufaktur membawa dampak terhadap kualitas. Lingkungan Manufaktur Baru TREN IMPLIKASI TERHADAP MUTU 1. Fokus pada strategi manufaktur Mutu menjadi dasar strategi kekuatan bersaing 2. Produksi barang bermutu tinggi Mutu secara langsung berhubungan dengan pangsa pasar, pertumbuhan bisnis dan laba 3. Pengurangan tingkat persediaan dengan konsep just in time Pengurangan biaya persediaan 4. Skedul produksi yang ketat Peningkatan ketersediaan oleh pelanggan dipersepsikan sebagai aspek mutu 5. Bauran dan variasi produk Memungkinkan focus pada strategi dan segmentasi pasar 6. Otomatisasi mesin & peralatan Memberikan justifikasi bagi peningkatan mutu dan produktivitas 7. Daur hidup lebih singkat Memberikan peluang bagi usaha mempercepat perubahan pasar dan memasukkan teknologi baru ke dalam produk melalui program manajemen mutu 8. Perubahan organisasi Tanggung jawab mutu didelegasikan kepada unit bisnis strategik dan manajer produk 9. Teknologi informasi Memungkinkan pengendalian lebih ketat terhadap biaya mutu, manajemen mutu dan integrasi fungsional silang. Kelangsungan hidup perusahaan sangat tergantung pada kemampuan untuk memberi respons terhadap perubahan-perubahan tersebut secara efektif. Umumnya perubahan yang terjadi disebabkan oleh berbagai kekuatan yang ada, baik internal maupun eksternal. Ada empat kekuatan eksternal utama, yaitu karakteristik demografi, kemajuan teknologi, perubahan pasar, dan tekanan sosial serta politik. Kekuatan internal bisa dipengaruhi oleh masalah sumber daya manusia dan perilaku atau keputusan manajerial. 1. Permasalahan sumber daya manusia Munculnya masalah ini berkaitan dengan persepsi karyawan atas perlakuan terhadap mereka dalam pekerjaan dan kesesuaian antara kebutuhan dan keinginan individual dan organisasional. 2. Perilaku/keputusan manajerial Konflik interpersonal, perilaku pemimpin yang tidak sesuai, sistem penghargaan yang tidak memadai serta adanya reorganisasi structural merupakan factor-faktor pendorong perlunya perubahan yang berkaitan dengan perilaku/keputusan manajerial. Total quality management merupakan suatu konsep manajemen m,odern yang berusaha untuk merespons secara tepat terhadap setiap perubahan yang ada, baik yang didorong oleh kekuatan eksternal maupun internal. TQM lebih berfokus pada tujuan perusahaan untuk melayani kebutuhan pelanggan dengan memasok barang dan jasa yang memiliki kualitas setinggi mungkin. Kehadiran TQM sebagai paradigma baru menurut komitmen jangka panjang dan perubahan total atas paradigma manajemen tradisional. Perlunya perubahan total dikarenakan cara menjalankan bisnis dengan TQM berbeda sekali dengan cara tradisional. Perbedaan pokok adalah berupa karakteristik yang tercakup dalam unsur-unsur TQM, yang meliputi: • • Fokus pada pelanggan eksternal dan internal • • Memiliki obsesi tinggi terhadap kualitas • • Pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah • • Adanya komitmen jangka panjang • • Kerja sama tim • • Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan • • Perbaikan proses secara berkesinambungan • • Adanya pendidikan dan pelatihan karyawan yang bersifat bottom-up • • Adanya kebebasan yang terkendali • • Adanya kesatuan tujuan Munculnya TQM juga dikarenakan adanya kekurangan atau kesalahan dalam menjalankan bisnis dengan mengunakan pendekatan tradisional. Beberapa kekurangan atau kesalahan tersebut (Fandy, 1995:329), antara lain sebagai berikut: 1. Berfokus pada jangka pendek 2. Cenderung bersifat arogan, tidak berfokus pada pelanggan 3. Memandang rendah kontribusi potensial karyawan 4. Menganggap bahwa mutu yang lebih baik hanya dapat dicapai dengan biaya yang tinggi 5. Mengutamakan bossmanship bukan leadership B. PERSYARATAN IMPLEMENTASI TQM Untuk melakukan suatu perubahan sering kali tidak mudah, apalagi bila menyangkut perubahan yang bersifat fundamental dan menyeluruh. Berkaitan dengan perubahan tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu berikut ini: 1. Perubahan sulit berhasil bila manajemen puncak tidak menginformasikan proses perubahan secara terus-menerus kepada para karyawannya. 2. Persepsi karyawan terhadap perubahan sangat mempengaruhi penolakan perubahan. Karyawan akan mendukung perubahan bila mereka merasa bahwa manfaat perubahan akan lebih besar daripada biaya yang ditimbulkan terutama biaya karyawan. Ada beberapa persyaratan untuk melaksanakan TQM (Goetsch, 1997:264) (Fandy, 1995:332) yaitu : 1. Komitmen manajemen puncak 2. Komitmen atas sumber daya yang dibutuhkan 3. Organization wide steering committee 4. Perencanaan dan publikasi 5. Infrastruktur yang mendukung penyebarluasan dan perbaikan terus menerus Keseluruhan persyaratan diatas merupakan tugas awal yang harus dilakukan dalam memulai implementasi TQM. Selain tugas-tugas tersebut, masih ada beberapa tugas lainnya yang harus dilakukan, yaitu sbb: 1. Melatih steering committee, yang meliputi hal-hal seperti empat belas poin deming, deming’s seven deadly diseases, tujuh alat/piranti utama perbaikan, dan pembentukan tim kerja. 2. Identifikasi kekuatan dan kelemahan organisasi, yaitu mengenai kemampuan statistic, pengumpulan data, dan kemampuan analisis. 3. Identifikasi pendukung potensial TQM, yaitu dengan bagian apa yang paling mungkin menjadi pendukung TQM dan siapa yang menolak TQM. 4. Identifikasi pelanggan eksternal dan internal 5. Menyusun cara untuk menentukan kepuasan pelanggan (eksternal dan internal), antara lain dengan melakukan patok duga pada perusahaan pesaing terkuat untuk mengukur perbaikan/kemajuan yang dicapai. C. PERANAN MANAJEMEN DALAM IMPLEMENTASI TQM TQM merupakan transformasi budaya yang didorong oleh definisi ulang (reengineering) terhadap peranan manajemen. Pihak manajemen harus mebubah dirinya terlebih dahulu, baik aspek nilai, keyakinan, asumsi, maupun cara mereka menjalankan bisnis. Peranan merupakan tanggung jawab, perilaku, atau prestasi kinerja yang diharapkan dari seseorang yang memiliki posisi khusus (Bounds, et al, 1994:1334). Selain melaksanakan kepemimpinan yang diharapkan dapat memotivasi dan mengarahkan para karyawan untuk mencapai tujuan organisasi, manajemen puncak juga bertanggung jawab dalam mengatasi setiap penolakan terhadap perubahan ke arah manajemen baru. Dalam mengatasi penolakan terhadap perubahan tersebut, manajer puncak dapat menggunakan salah satu strategi berikut (Kreitner dan Kinicki, 1994:737). 1. Pendidikan dan Komunikasi 2. Partisipasi dan Keterlibatan 3. Fasilitas dan Dukungan 4. Negosiasi dan Kesepakatan 5. Manipulasi dan Cooptation 6. Paksana Secara Eksplisit dan Implisit Hasil analisis yang dilakukan Benson (et al., 1991) (dalam Hessel, 2003:81) persepsi manajer mengenai manajemen kualitas ideal dan actual dengan instrument tentang delapan area kritikal manajemen kualitas, yaitu peran kepemimpinan, kebijakan kualitas, training product service design, manajemen kualitas pemasok, data kualitas dam pelaporan serta hubungan karyawan. Alat analisis digunakan adalah regresi berganda. Hasil analisis menunjukkan bahwa organizational quality context ternyata mempengaruhi persepsi manajemen kualitas actual maupun ideal. D. PENDEKATAN IMPLEMENTASI YANG HARUS DIHINDARI Agar implementasi TQM dapat berjalan dengan sukses, perusahaan harus mempelajari semua informasi yang ada, baik mengenai implementasi yang sukses maupun yang gagal di perusahaan lain. Ada beberapa pendekatan implementasi TQM yang harus dihindari (Fandy, 1995:341), yaitu sbb: o Jangan melatih semua karyawan sekaligus o Jangan tergesa-gesa menerapkan TQM dengan melibatkan terlalu banyak orang dalam satu tim o Implementasi TQM tidak boleh didelegasikan o Jangan memulai implementasi bila manajemen belum benar-benar siap E. FASE-FASE IMPLEMENTASI Menurut Cortado (1993:179-182), ada lima tahap transformasi yang dilalui suatu perusahaan, yaitu tahap kesadaran awal, implementasi sebagian, aktivitas estensif, hasil-hasil nyata dan terbaik dalam industri dengan karakteristik setiap tahap. Karakteristik Lima Tahap Transformasi dalam Implementasi TQM Penerapan Awal Implementasi Sebagian Aktivitas Intensif Hasil Nyata Terbail dalam Industri Baru ada sebagian pengetahuan TQM Pengetahuan makin berkembang Setiap orang telah memahami konsep TQM Integrasi sangat baik Integrasi total Sedikit pendukung TQM Usaha sistimatis dimulai Pendekatan telah terpadu Proses teruji dan efektif Praktik yang terbaik Tidak ada rencana Ada rencana implementasi Mulai memperoleh hasil-hasil nyata TQM menjadi budaya perusahaan Melaksanakan budaya mutu Tidak ada budaya kualitas Mulai ada kesuksesan Budaya perusahaan telah berubah Hasil-hasil telah tercapai dan kontinu Hasil-hasil unggul dan kontinu Belum ada hasil nyata Budaya perusahaan mengalami perubahan Empowerment and development bersifat ekstensif Terorganisasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi Meraih kelas dunia Manajemen komando & kendali Manajemen senior mulai memberi dukungan Berfokus pada perbaikan kontinu Berhasil menjadi pemimpin pasar Penyempurnaan secara kontinu Inward focused Delegasi dimulai Fokus pada pelanggan makin baik Waktu 1 – 2 tahun 1 – 2 tahun 1 – 2 tahun Kontinu Sumber: Cortado, J.W. (1993:180) Menurut George dan Weimerskirch (1994:259-269), ada enam fase utama dalam implementasi TQM, yaitu sbb: 1. Komitmen manajemen puncak terhadap perubahan 2. Penilaian system perusahaan secara internal dan eksternal 3. Pelembagaan focus pada pelanggan 4. Pelembagaan TQM dalam perencanaan strategic, keterlibatan karyawan, manajemen proses, dan system pengukuran 5. Penyesuaian dan perluasan tujuan manajemen guna memenuhi dan melampaui harapan pelanggan 6. Perbaikan atau penyempurnaan system Sementara itu, Goetsch dan Davis (1997:584-589) memberikan klasifikasi fase implementasi yang lebih rinci dan sistematis. Fase implementasi TQM dikelompokkan menjadi tiga fase yaitu : 1. Fase Persiapan Langkah A: Membentuk Total Quality Steering Committee Langkah B: Membentuk Tim Langkah C: Pelatihan TQM Langkah D: Menyusun Pernyataan Visi dan Prinsip sebagai Pedoman Langkah E: Menyusun tujuan umum Langkah F: Komunikasi dan Publikasi Langkah G: Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan Langkah H: Identifikasi Pendukung dan Penolak Langkah I: Memperkirakan Sikap Karyawan Langkah J: Mengukur Kepuasan Pelanggan 2. Fase Perencanaan Langkah K: Merencanakan pendekatan Impelementasi, kemudian menggunakan siklus PDCA (Plan, Do, Check and Adjust) Langkah L: Identifikasi Proyek Langkah M: komposisi Tim Langkah N: Pelatihan Tim 3. Fase Pelaksanaan Langkah P: Penggiatan Tim Langkah Q: Umpan Balik kepada Steering Committee Langkah R: Umpan Balik dari Pelanggan Langkah S: Umpan Balik dari karyawan Langkah T: Memodifikasi Infrastruktur Keberhasilan implementasi TQM sangat dipengaruhi oleh fasilitas pendukungnya yaitu infrastruktur organisasi. Infrastruktur organisasi tersebut meliputi berikut ini: • Hubungan jangka panjang dengan pelanggan • Dukungan manajemen puncak • Manajemen tenaga kerja • Hubungan jangka panjang dengan pemasok. • Sikap kerja pekerja F. PENGARUH IMPLEMENTASI TQM PADA KINERJA ORGANISASI. Pengaruh penerapan TQM pada kinerja organisasi (Hessel, 2003:84) meliputi atas berikut ini. 1. Proses desain produk. 2. Manajemen arus proses. 3. Statistical quality control. 4. Hubungan jangka panjang dengan pelanggan. 5. Sikap kerja pekerja 6. Kinerja organisai pada keunggulan kompetitif. G. HAMBATAN IMPLEMENTASI TQM DI INDONESIA. Hasil analisis implementasi TQM di Indonesia menunjukkan ketidaksempurnaan implementasi TQM dan kurangnya infrastruktur yang mendukung implementasi TQM. Secara umum, terdapat beberapa factor penyebab yang memungkinkan keadaan tersebut (Hessel, 2003:98) yaitu sbb:  Kurangnya komitmen manajemen puncak.  Kurangnya dukungan infrastruktur untuk implementtasi TQM.  Partial quality management  Kurangnya pengetahuan tentang kkosep TQM yang akan mempersulit karyawan untuk menerima dan menerapkan kosep TQM.  Budaya organisasi kurang mendukung implementasi TQM, dimana belum sepenuhnya berfokus pada kepuasan pelanggan. DAFTAR PUSTAKA Simamora, B. (2003), Membongkar Kotak Hitam Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Singarimbun, M. dan Effendi, S. (2004), Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta. Tjiptono, Fandy. (2005), Total Quality Management, Andi Offset, Yogyakarta. Hardjosoedarmo, Soewarso., Dasar Dasar Total Quality Management., Andi Yogyakarta., Yogyakarta1996. Scherkenbach, Wiliam W., Deming’s Road to Improvement, SPC Press, Inc., Knoxville, Tennessee, 1991. Samani, Muchlas., Manajemen sekolah.,Depdikbud. Jakarta, 1999. Kurniadi, Erick (1998). Pengertian TQM “total quality management” & GKM. 15 Maret 2009. www. Yahoo.com www.google.com

PENGERTIAN MANAJEMEN

Pengertian manajemen a. Dalam bahasa Indonesia Menurut Dr. Sp. Siabian Manajemen adalah kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui orang lain. Philip Kotler (Marketing) Pemasaran adalah kegiatan manusia yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan melalui proses pertukaran. Philip Kotler dan Amstrong Pemasaran adalah sebagai suatu proses sosial dan managerial yang membuat individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan lewat penciptaan dan pertukaran timbal balik produk dan nilai dengan orang lain. Pemasaran adalah suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang dirancang untuk merencanakan, menentukan harga, promosi dan mendistribusikan barang- barang yang dapat memuaskan keinginan dan mencapai pasar sasaran serta tujuan perusahaan. Menurut W Stanton Pemasaran adalah sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan pembeli maupun pembeli potensial. b. Dalam bahasa Inggris Menurut David (1951) Management is the function of the executive leadership anywhere (manajemen adalah fungsi dari setiap kepemimpinan eksekutif dimanapun.)

MAKALAH TRANSPORTASI ABANK

Transportasi adalah pemindahan manusia, hewan atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah wahana yang digerakkan oleh manusia dan atau mesin. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Alat Transportasi sendiri dibagi 3 yaitu, transportasi darat, transportasi laut dan transportasi udara. TRANSPORTASI DARAT Sarana Angkutan Jalan Raya : Angutan Jalan adalah kendaraan yang diperbolehkan untuk menggunakan jalan. Angkutan jalan ini diantaranya adalah : 1. Sepeda Motor, adalah kendaraan bermotor beroda 2 (dua), atau 3 (tiga) tanpa atap baik dengan atau tanpa kereta di samping. 2. Mobil Penumpang, adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi sebanyak-banyaknya 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi. 3. Mobil Bus, adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi lebih dari 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi. 1 2 4. Mobil Barang, adalah setiap kendaraan bermotor selain dari yang termasuk dalam sepeda motor, mobil penumpang dan mobil bus. Angkutan darat selain mobil, bus ataupun sepeda motor yang lazim digunakan oleh masyarakat, umumnya digunakan untuk skala kecil, rekreasi, ataupun sarana sarana di perkampungan baik di kota maupun di desa. Diantaranya adalah : sepeda, becak, bajaj, bemo dan delman. Sarana Angkutan Kereta Api : Kereta api adalah sarana transportasi berupa kendaraan dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan kendaraan lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di rel. Kereta api merupakan alat transportasi massal yang umumnya terdiri dari lokomotif (kendaraan dengan tenaga gerak yang berjalan sendiri) dan rangkaian kereta atau gerbong (dirangkaikan dengan kendaraan lainnya). Rangkaian kereta atau gerbong tersebut berukuran relatif besar sehingga mampu memuat penumpang maupun barang dalam skala besar. Karena sifatnya sebagai angkutan massal efektif, beberapa negara berusaha memanfaatkannya secara maksimal sebagai alat transportasi utama angkutan darat baik di dalam kota, antarkota, maupun antar negara. Prasarana Transportasi Darat : Jalan dan Jembatan, adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas 3 permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Rel Kereta, digunakan pada jalur kereta api. Rel mengarahkan/memandu kereta api tanpa memerlukan pengendalian. Rel merupakan dua batang rel kaku yang sama panjang dipasang pada bantalan sebagai dasar landasan. Rel-rel tersebut diikat pada bantalan dengan menggunakan paku rel, sekrup, penambat, atau penambat e (seperti penambat Pandrol). Jenis penambat yang digunakan bergantung kepada jenis bantalan yang digunakan. Puku ulir atau paku penambat digunakan pada bantalan kayu, sedangkan penambat e digunakan untuk bantalan beton atau semen. Rel biasanya dipasang di atas badan jalan yang dilapis dengan batu kericak atau dikenal sebagai Balast. Balast berfungsi pada rel kereta api untuk meredam getaran dan lenturan rel akibat beratnya kereta api. Untuk menyeberangi jembatan, digunakan bantalan kayu yang lebih elastis ketimbang bantalan beton. Terminal Transportasi : Terminal bandar udara, sebuah bangunan di bandara Terminal bus, sebuah fasilitas transportasi jalan Stasiun terminal, sebuah stasiun kereta penumpang Terminal container, fasilitas yang menangani perkapalan Stasiun Kereta Api, adalah tempat di mana para penumpang dan barang dapat naik-turun dalam memakai sarana transportasi kereta api. Selain stasiun, pada masa lalu dikenal juga dengan halte kereta api yang memiliki fungsi nyaris sama dengan stasiun kereta api. 4 Stasiun kereta api umumnya terdiri atas tempat penjualan tiket, peron atau ruang tunggu, ruang kepala stasiun, dan ruang PPKA (Pengatur Perjalanan Kereta Api) beserta peralatannya, seperti sinyal, wesel (alat pemindah jalur), telepon, telegraf, dan lain sebagainya. Stasiun besar biasanya diberi perlengkapan yang lebih banyak daripada stasiun kecil untuk menunjang kenyamanan penumpang maupun calon penumpang kereta api, seperti ruang tunggu, restoran, toilet, mushalla, area parkir, sarana keamanan (polisi khusus kereta api), sarana komunikasi, depo lokomotif, dan sarana pengisian bahan bakar. Pada papan nama stasiun yang dibangun pada zaman Belanda, umumnya dilengkapi dengan ukuran ketinggian rata-rata wilayah itu dari permukaan laut, misalnya Stasiun Bandung di bawahnya ada tulisan plus-minus 709 meter. Pada umumnya, stasiun kecil memiliki tiga jalur rel kereta api yang menyatu pada ujung-ujungnya. Penyatuan jalur-jalur tersebut diatur dengan alat pemindah jalur yang dikendalikan dari ruang PPKA. Selain sebagai tempat pemberhentian kereta api, stasiun juga berfungsi bila terjadi persimpangan antar kereta api sementara jalur lainnya digunakan untuk keperluan cadangan dan langsir. Pada stasiun besar, umumnya memiliki lebih dari 4 jalur yang juga berguna untuk keperluan langsir. Pada halte umumnya tidak diberi jalur tambahan serta percabangan. Pada masa lalu, setiap stasiun memiliki pompa dan tangki air serta jembatan putar yang dibutuhkan pada masa kereta api masih ditarik oleh lokomotif uap. Karena keberadaan stasiun kereta api umumnya bersamaan dengan keberadaan sarana kereta api di Indonesia yang dibangun pada masa zaman Belanda, maka kebanyakan stasiun kereta api merupakan bangunan lama yang dibangun pada 5 masa itu. Sebagian direstorasi dan diperluas, sedangkan sebagian yang lain ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Kebanyakan kota besar, kota kabupaten, dan bahkan kecamatan di Jawa dihubungkan dengan jalur kereta api sehingga di kota-kota tersebut selalu dilengkapi dengan stasiun kereta api. Halte, adalah tempat pemberhentian sementara untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Sekarang ini sering dikenal halte bus dan angkutan kota, dahulu ada juga halte kereta api. ATCS, Sistem Kendali Lalu lintas Kendaraan atau Auto Traffic Control System (ATCS) adalah pengendalian lalu lintas dengan menyelaraskan waktu lampu merah pada jaringan jalan raya. TRANSPORTASI LAUT Sarana Transportasi Laut : Kapal, adalah kendaraan pengangkut penumpang dan barang di laut (sungai dsb) seperti halnya sampan atau perahu yang lebih kecil. Kapal biasanya cukup besar untuk membawa perahu kecil seperti sekoci. Sedangkan dalam istilah inggris, dipisahkan antara ship yang lebih besar dan boat yang lebih kecil. Berabad-abad lamanya kapal digunakan oleh manusia untuk mengarungi sungai atau lautan. Feri, adalah sebuah sebuah kapal transportasi jarak dekat.Feri mempunyai peranan penting dalam sistem pengangkutan bagi banyak kota pesisir pantai, membuat transit langsung antar kedua tujuan dengan biaya lebih kecil dibandingkan 6 jembatan atau terowong. Sampan (bahasa Tionghoa) adalah sebuah perahu kayu tiongkok yang memiliki dasar yang relatif datar, dengan ukuran sekitar 3,5 hingga 4,5 meter yang digunakan sebagai alat transportasi sungai dan danau atau menangkap ikan. Sampan dapat mengangkut penumpang 2 – 8 orang, tergantung ukuran sampan. Sampan ada kalanya memiliki atap kecil dan dapat digunakan sebagai tempat tinggal permanen di perairan dekat darat. Sampan biasanya tidak digunakan untuk berlayar jauh dari daratan karena jenis perahu ini tidak memiliki perlengkapan untuk menghadapi cuaca yang buruk. Kata “sampan” secara harafiah berarti “tiga lembar papan” dalam bahasa Kanton, dari kata Sam (tiga) dan pan (papan). Kata ini digunakan untuk merujuk pada rancangan perahu ini, yang terdiri dari sebuah dasar yang datar (dibuat dari selembar papan); dua lembar papan lainnya dipasang di kedua belah sisinya. Sampan digerakkan dengan sepotong galah, dayung atau dapat pula dipasangi motor di bagian belakangnya. Prasarana Transportasi Laut : Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai atau danau untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya. Pelabuhan biasanya memiliki alat-alat yang dirancang khusus untuk memuat dan membongkar muatan kapal-kapal yang berlabuh. Crane dan gudang berpendingin juga disediakan oleh pihak pengelola maupun pihak swasta yang berkepentingan. Sering pula disekitarnya dibangun fasilitas penunjang seperti pengalengan dan pemrosesan barang. 7 Kata pelabuhan laut digunakan untuk pelabuhan yang menangani kapal-kapal laut. Pelabuhan perikanan adalah pelabuhan yang digunakan untuk berlabuhnya kapal-kapal penangkap ikan serta menjadi tempat distribusi maupun pasar ikan. Klasifikasi pelabuhan perikanan ada 3, yaitu: Pelabuhan Perikanan Pantai, Pelabuhan Perikanan Nusantara, dan Pelabuhan Perikanan Samudera. Di bawah ini hal-hal yang penting agar pelabuhan dapat berfungsi :  Adanya kanal-kanal laut yang cukup dalam (minimum 12 meter)  Perlindungan dari angin, ombak, dan petir  Akses ke transportasi penghubung seperti kereta api dan truk  Galangan kapal adalah sebuah tempat yang dirancang untuk memperbaiki dan membuat kapal. Kapal-kapal ini dapat berupa yacht, armada militer, cruisine line, pesawat barang atau penumpang. TRANSPORTASI UDARA Sarana Transportasi Udara : Pesawat terbang atau pesawat udara atau kapal terbang atau cukup pesawat saja adalah kendaraan yang mampu terbang di atmosfir atau udara. Prasarana Transportasi Udara : Bandar udara atau bandara merupakan sebuah fasilitas tempat pesawat terbang dapat lepas landas dan mendarat. Bandara yang paling sederhana minimal memiliki sebuah landas pacu namun bandara-bandara besar biasanya dilengkapi berbagai fasilitas lain, baik untuk operator layanan penerbangan maupun bagi penggunanya. 8 Menurut ICAO (International Civil Aviation Organization): Bandar udara adalah area tertentu di daratan atau perairan (termasuk bangunan, instalasi dan peralatan) yang diperuntukkan baik secara keseluruhan atau sebagian untuk kedatangan, keberangkatan dan pergerakan pesawat. Sedangkan definisi bandar udara menurut PT (persero) Angkasa Pura adalah “lapangan udara, termasuk segala bangunan dan peralatan yang merupakan kelengkapan minimal untuk menjamin tersedianya fasilitas bagi angkutan udara untuk masyarakat”. BAB II PEMBAHASAN Akar Masalah Transportasi yang ada di DKI Jakarta Menurut saya apa yang terjadi di Jakarta saat ini bukan karena kepadatan penduduk yang banyak datang ke Jakarta dan bukan karena begitu banyaknya sepeda motor atau mobil pribadi..namun masalah utama Jakarta sebenarnya ada beberapa yang harus segera dicari jalan keluarnya oleh Pemda DKI yaitu : 1.Jalan. Banyaknya mobil pribadi,bus,dan sepeda motor tidak diimbangi dengan tersedianya jalan yang banyak di Jakarta hingga menyebabkan kemacetan parah di seluruh titik-titik rawan kemacetan. Seharusnya Pemda DKI bisa menyediakan jalan yang banyak dan juga jalan-jalan alternatif di seluruh Jakarta agar prediksi yang memberitakan kalau 2015 akan terjadi kemacetan total di Jakarta tidak terjadi. Dan jalan-jalan yang tersedia sekarang sudah tidak mampu menampung jumlah kendaraan yang menurut saya sudah melewati batas normal. Seharusnya Pemda DKI bisa mengatasi kemacetan itu,bukannya malahan menyalahkan masyarakat yang menggunakan kendaraan. Harusnya Pemda DKI bisa menyediakan jalan yang banyak dan besar bagi para pengguna jalan agar waktu para pengguna jalan tidak habis dijalan dan mereka bisa beristirahat dengan tenang di rumah supaya efisiensi kerja mereka tidak terganggu dengan kemacetan. 9 10 Dan agar mereka tidak terlambat tiba di tempat kerja mereka. Satu-satunya cara agar macet ini bisa ditanggulangi adalah dengan menghentikan pembangunan Mall-mall yang tidak perlu yang mana itu salah satu penyebab kemacetan. Dan satu lagi, Pemda DKI harus menghancurkan gedung-gedung yang tidak berpenghuni dan tidak memiliki izin. 2. Keamanan untuk naik angkutan umum. Sosialisasi Pemda DKI agar masyarakat Jakarta beralih ke angkutan umum saya rasa masih kurang dilakukan. Persoalan paling mendasar adalah "KEAMANAN!". Itu satu-satunya persoalan paling penting yang harus dibenahi oleh Pemda DKI. Dan satu persoalan paling penting adalah kenyamanan yang mana sampai saat ini belum memuaskan para pengguna angkutan umum. saya harap Pemda DKI serius melihat ini kalau tidak mau kemacetan ini terus berlanjut. 3.Jaminan dari Pemda DKI untuk menyediakan sarana dan prasarana transportasi. Kalau Pemda DKI ingin Jakarta ini bebas dari macet, Pemda DKI harus bisa dan mampu menjamin untuk menyediakan sarana dan prasarana transportasi yang cepat,tepat waktu dan aman. Kita bisa lihat pada Singapura,Cina dll,. semua negara itu sukses dalam mengatasi kemacetan, tapi kenapa kita tidak bisa. Selama ini Pemda DKI hanya mengumbar janji-janji manis tanpa ada pembuktian atas janji-janji tersebut. Contoh nyata adalah janji pembangunan Monorail yang justru sampai saat ini tidak ada kelangsungannya dan yang ada hanya tiang-tiangnya saja yang berdiri. Kalau hanya janji,masyarakat tidak akan percaya lagi..lebih baik 11 Pemda DKI tidak berjanji apa-apa daripada hanya membuat malu,lebih baik diam tapi buktinya ada dan bisa dipertanggung jawabkan pada masyarakat Jakarta. 4.Penggunaan sepeda. Sekarang di Jakarta sudah banyak warga yang beralih menggunakan sepeda untuk menembus kemacetan yang semakin parah dan saya rasa itu langkah yang sangat baik. tapi masalahnya sampai sekarang jalur khusus sepeda belum ada di Jakarta,padahal sepeda adalah salah satu alat untuk mengurangi kemacetan dan juga belum ada tempat parkir khusus sepeda di Jakarta hingga menyebabkan banyak orang yang enggan menggunakan sepeda untuk bepergian atau bekerja..saya harap Pemda DKI bisa memberikan solusi terbaik dalam masalah yang sudah sangat memprihatinkan ini. Tapi Semenjak dihentikannya pengoperasian trem oleh pemerintah DKI Jakarta era 1970an, bus sudah menjadi sarana transportasi umum yang penting disamping sarana transportasi yang lain. Namun, selama 30 tahun lebih, porsi penggunaan bus semakin menurun dibandingkan dengan kendaraan pribadi (mobil dan sepeda motor, dimana rasio kendaraan pribadi (92%) dan umum (8%) menjadi semakin lebar perbedaannya), sehingga public transport share nya menurun dari sekitar 70% (tahun 1970-an) menjadi 57% (1985) dan 45% (2000). Di sisi lain, paling tidak dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini, angkutan kereta hanya mengangkut sekitar 3% penumpang dan angka penumpang yang tidak membayar (free rider) mencapai 67%. Motorisasi mencapai puncaknya dengan pertumbuhan tertinggi 16% pertahun. Tahun 2004, angka penjualan mobil mencapai 500 ribu unit dan sepeda motor 4,5 juta unit tanpa pertumbuhan pembangunan dan 12 perbaikan kualitas jalan, memperburuk kondisi transportasi Jakarta. Belum lagi bila dikaitkan dengan pelayanan sarana transportasi publik yang sangat minim kualitas, supervisi dan monitoring yang lemah, dan sarana penunjang yang tidak nyaman (terminal), yang bahkan memberikan kesan menyeramkan. Menurunnya public transport share, pertumbuhan jumlah pengguna kendaraan pribadi, dan kualitas dan kuantitas sarana jalan yang kurang optimal inilah yang diyakini menjadi penyebab utama masalah transportasi di Jakarta. Sementara itu, isu premanisme di sektor transportasi dan rendahnya kualitas udara perkotaan (urban air quality) menambah kompleksitas masalah dan merambah area multi-disiplin dan multi-institusi. Sayangnya, efektivitas koordinasi antar lembaga-lembaga terkait dan berwenang untuk pemecahan masalah ini belum terlihat signifikansi hasilnya. Proposal Solusi Jangka Pendek: Prioritas Program Bus Priority or Bus Rapid Transit (BRT/Busway) Solusi masalah transportasi jangka pendek dapat dicapai dengan efektivitas pemanfaatan busway dan pemadatan kota (land consolidation) atau pemusatan pemukiman penduduk (lihat Diagram 1 dan Gambar 1). Dengan kata lain, jumlah penduduk di sepanjang koridor/sekitar terminal dipadatkan dengan apartemen yang berlantai banyak dan didukung oleh sarana-sarana umum dan sosial seperti pusat perbelanjaan, bank, kantor pos, rumah sakit dan ibadah, dan daerah hijau, sehingga dapat mengundang minat orang-orang tinggal di sekitar koridor. Hal ini direkomendasikan dengan pertimbangan bahwa kota Jakarta ternyata masih dapat dipadatkan sehingga memiliki potensi dukungan kebijakan land consolidation 13 yang sangat potensial. Dengan jumlah pengguna yang lebih padat, biaya yang dikeluarkan setiap pengguna akan menjadi lebih murah. Implementasinya mengacu pada kerangka Rencana Tata Ruang dan Wilayah dan didukung komunikasi intensif kepada masyarakat sehingga menjadi insentif bagi perubahan pola hidup dan cara berpikir masyarakat dalam masalah kepemilikan rumah dan tanah. Lebih lanjut, program BRT yang menjadi prioritas utama dalam Pola Transportasi Makro (PTM) merupakan sebuah terobosan yang perlu untuk didukung dan dilanjutkan pembangunannya. Percepatan pembangunan koridor yang masih tertunda seyogyanya menjadi prioritas utama dengan tetap memperhatikan kualitas layanan, pemeliharaan, biaya operasional yang terjangkau dan dukungan tata kelola manajemen BRT yang efektif dan efisien. Beberapa dukungan teknis untuk menunjang solusi jangka pendek ini adalah:  Perlu kebijakan dalam pengembangan sistem transportasi di daerah penyangga (yang berpopulasi padat) ke tempat pemberhentian bus/stasiun, baik dilakukan dengan bantuan perusahaan transportasi swasta maupun pembangunan koridor penyangga baru.  Distribusi informasi dan simulasi sistem transportasi secara konsisten. Ini dilakukan dengan memanfaatkan media massa untuk distribusi informasi BRT dan tur promosi (promotional tour) kepada lembaga-lembaga (termasuk sekolah-sekolah) yang tertarik dengan BRT. 14  Perhatian terhadap kualitas dan perawatan sarana dan prasarana BRT, seperti stasiun/pemberhentian dan jembatan penyeberangan untuk menjaga keberlangsungan operasional dengan baik.  Pengadaan sarana yang memberikan insentif kepada konsumen untuk melakukan park and ride dengan penyediaan tempat parkir yang aman dan baik di area-area tertentu koridor BRT yang pada gilirannya menawarkan pilihan BRT daripada menggunakan kendaraan pribadi.  Menunjang promosi didalam BRT untuk mendukung biaya operasional dan mengurangi beban subsidi pemerintah dalam hal terjadi defisit. BAB III KESIMPULAN Permasalahan transportasi dan kemacetan di Jakarta memang kian mencemaskan. Tetapi harus diakui bahwa problem transportasi di Jakarta tidak hanya terkait sistem dan penyediaan sarana angkutan yang memadai . modern dan manusiawi tetapi juga terkait dengan peran dan perilaku [behavior) penggunajasa transportasi (PJT). Betapapun majunya moda dan sistem transportasi yang dibangun tanpa disertai oleh peran partipatoris dan perilaku positif dari PJT maka sistem tersebut tidak mungkin berjalan sesuai harapan.Sebagai penggunajasa tranportasi (PJT) rutin di Jakarta, kita tentu memiliki peran dan obsesi dalam mewujudkan sebuah sistem transportasi yang manusiawi dan mudah diakses oleh siapapun juga. Meski bukan faktor penentu kebijakan, peran sebagai pengguna jasa transportasi kini sangat diperlukan. Mengapa? Karena sebagai PJT. kita sebenarnya adalah aktor penting dari sebuah sistem makro transportasi. Tanpa pengguna atau penumpang, transportasi tidak mungkin berjalan efektif.Oleh karena itu patut disadari bahwa peran partlsipatoris PJT ini akan berdampak positif bagi kemajuan sistem transportasi di Jakarta. Peran Partlsipatoris Beragam peran partisipatoris dapat dilakukan oleh setiap PJT dalam beragam bentuk aksi seperti memberikan usulan, kritikan, sharing, hearing, solusi dan juga advokasi di bidang transportasi kepada para pengambil kebijakan dan stakeholder transportasi di Jakarta.Sebagai aktor. 15 16 PJT memiliki peran signifikan menjadi pressure group yang dapat mempengaruhi pengambil kebijakan dalam merumuskan pembangunan transportasi yang lebih baik. Demokratisasi sewajarnya juga memasuki ranah transportasi ini dimana PJT memiliki akses dalam memberikan beragam masukan bagi perbaikan moda, pelayanan dan sistem transportasi. Oleh karena itu. PJT dapat menyampaikan semua bentuk aspirasinya yang terkait dengan persoalan transportasi di Jakarta ini melalui beragam saluran aspirasi baik melalui DPRD. Eksekutif maupun melalui Dewan Transportasi Kota (DTK) Jakarta yang merupakan wadah bersama dalam merumuskan beragam usulan tentang kebijakan pentransportasian di ibukota ini. PJT yang kritis konstruktif sebenarnya adalah aset yang dapat memajukan dunia transportasi. Dalam keseharian, PJT juga dapat melakukan serangkaian aktivitas partislpatorisnya dalam bentuk mengawasi kegiatan transportasi di jalan dimana dia sebagai penggunajasa angkutan umum balk seperti angkot, bus atau kereta api. Seorang PJT dapat berperan sebagi watch dog jika melihat penyimpangan yang terjadi dalam proses transportasi seperti mempertanyakan kenaikan tarif diatas kewajaran, menegur sopir yang ugal-ugalan dan sebagai. Jika perilaku partisipatoris ini dilakukan secara massif oleh setiap pengguna jasa transportasi, kita patut optimistis pelayanan transportasi di Jakarta akan membaik. Tentu saja sikap partisipatoris ini membutuhkan can do spirit dan kesadaran tanggungjawab dari semua PJT. 17 Masalah Bersama Peran PJT partisipatoris memang tidak serta menyelesaikan beragam permasalahan transportasi yang mendera Ibukota saat ini. Bermacam problem seperti kemacetan, sarana transportasi yang tak layak Jalan, polusi kendaraan yang kian mengkhawatirkan, hingga kini memang belum menemukan solusi yang tepat.Wacana moda transportasi massal (MRT) diangkat sebagai solusi bagi Jakarta. Kemunculan busway yang awalnya disambut positif kini mulai didera beragam persoalan/yang menuntut penyelesaian cepat para pemangku kebijakan agar layanan bagi PJT kian baik. Intinya. Jakarta memang membutuhkan beragam masukan konstruktif dan partisipasi publik tentang apa yang harus dilakukan Pemda DKI Jakarta, termasuk merumuskan skala prioritas kebijakan tersebut. Disinilah peran yang bisa dimainkan PJT yang memiliki rasa tanggungjawab terhadap perbaikan sistem transportasi di Jakarta.Kita harus sadari, permasalahan transportasi di Jakarta tidak mungkin hanya di bebani kepada Pemda DKI Jakarta dan DPRD saja tetapi juga menuntut kita untuk senantiasa proaktif dalam mengambil peran sebagai pengguna moda transportasi.Apapun profesi kita, sebagai PJT kita harus mulai membiasakan diri memberikan tawaran solusi dan kritikan kepada stakeholder.Tanpa partisipasi publik kita khawatir sistem transportasi hanya bermuara kepada economi minded yang hanya mencari keuntungan semata. Sehingga dengan partisipasi kita dapat terlibat langsung dan tidak langsung dalam menikmati layanan transportasi. 18 Ada kata bijak, jika ingin melihat sesuatu lihatlah kondisi masyarakatnya. Jika ingin layanan transportasi di Jakarta ini bertambah baik maka lihatlah PJT-nya. jika dia peduli maka layanan transportasi akan semakin baik. Tapi jika PJT tidak peduli, acuh tak acuh dan ewuh pakewuh dalam memberikan kritikan boleh jadi kesuraman dan kesemrawutan sistem transportasi di Ibukota ini akan sulit diselesaikan secara baik. Sebagai PJT tentu kita juga memiliki harapan akan munculnya sistem transportasi yang menjamin kemudahan bagi siapa saja. Ketersediaan dan kelayakan moda transportasi modern saat ini merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat. Meski demikian, kemajuan sistem transportasi sekali lagi amat didukung oleh perilaku kita sebagai PJT yang cerdas, kritis, taat hukum dan bertanggungjawab. Oleh karena itu penumbuhan sikap PJT partisipatoris ini harus diawali oleh kesadaran pribadi dan internalisasinya dapat dilakukan melalui pengenalan budaya transportasi yang baik di kalangan pelajar, pemuda dan anggota masyarakat lainnya.Harus pula ada political will dan political action dari semua stakeholder khususnya Pemda DKI Jakarta untuk membangkitkan partisipasi warganya berperan serta dalam menata transportasi di Ibukota ini. Karena problem transportasi adalah permasalahan yang harus dicari solusinya secara bersama-sama. DAFTAR PUSTAKA Abubakar I., 2000, Pengembangan Transportasi Darat Nasional Memasuki Milenium Ketiga, Disampaikan pada Seminar Sehari Sekolah Tinggi Manajemen Transport Trisakti Jakarta, 26 Januari 2000 Departemen Permukiman Dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Strategi Dan Konsepsi Pengembangan Kawasan Perbatasan Negara, Bahan Rapat Kebijakan dan Program Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perbatasan, Bappenas, 8 Agustus 2002 Khisty, C. J. (1986). Undergraduate Transportation Engineering Education. Transportation Research Record. Miro Fidel (2003). Dasar-dasar Rekayasa Transportasi/Edisi/ Ke-3/Jilid 1. Penerbit Erlangga.

KEBIJAKAN PUBLIK DALAM MENGATASI EKSTERNALITAS

KEBIJAKAN PUBLIK UNTUK MENGATASI EKSTERNALITAS Setiap kali eksternalitas muncul sehingga mengakibatkan alokasi sumber daya yang dilakukan pasar tidak efisien, pemerintah dalam melakukan salah satu dari dua pilihan tindakan yang ada. Pilihan pertama adalah menerapkan kebijakan-kebijakan atau pendekatan komando dan kontrol (command-and-control policies), atau menerapkan kebijakan-kebijakan berdasarkan pendekatan pasar (market-base policies). Bagi para ekonom, pilihan kedua lebih baik, karena kebijakan berdasarkan pendekatan pasar akan mendorong para pembuat keputusan di pasar swasta, untuk secara sukarela memilih mengatasi masalahnya sendiri. A. REGULASI Pemerintah dapat mengatasi suatu eksternalitas dengan melarang atau mewajibkan perilaku tertentu dari pihak-pihak tertentu. Sebagi contoh, untuk mengatasi kebiasaan membuang limbah beracun ke sungai, yang biaya sosialnya jauh lebih besar dari pada keuntungan pihak-pihak yang melakukannya, pemerintah dapat menyatakannya sebagai tindakan kriminal dan akan mengadili serta menghukum pelakunya. Dalam kasus ini pemerintah menggunakan regulasi atau pendekatan komando dan kontrol untuk melenyapkan eksternalitas tadi. Namun kasus-kasus polusi umumnya tidak sesederhana itu. Tuntutan para pecinta lingkungan untuk menghapuskan segala bentuk polusi, sesungguhnya tidak mungkin terpenuhi, karena polusi merupakan efek sampingan tak terelakkan dari kegiatan produksi industri. Contoh yang sederhana, semua kendaraan bermotor sesungguhnya mengeluarkan polusi. Jika polusi ini hendak dihapus sepenuhnya, maka segala bentuk kendaraan bermotor harus dilarang oleh pemerintah, dan hal ini tidak mungkin dilakukan. Jadi, yang harus diupayakan bukan penghapusan polusi secara total, melainkan pembatasan polusi hingga ambang tertentu, sehingga tidak terlalu merusak lingkungan namun tidak juga menghalangi kegiatan produksi. Untuk menentukan ambang aman tersebut, kita harus menghitung segala untung ruginya secara cermat.Di Amerika Serikat, Badan Perlindungan Lingkungan Hidup (EPA, Environmental Protection Agency) adalah lembaga yang diserahi wewenang dan tugas untuk merumuskan, melaksanakan, dan mengawasi berbagai regulasi yang dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup. Bentuk regulasi dibidang lingkungan hidup itu sendiri bisa bermacam–macam. Adakalanya EPA langsung menetapakan batasan polusi yang diperbolehkan untuk suatu perusahaan. Terkadang EPA mewajibkan pemakaian teknologi atau peralalatan tertentu untuk mengurangi polusi di pabrik-pabrik. Di semua kasus, demi memperoleh suatu peraturan yang baik dan tepat guna, para pejabat pemerintah harus mengetahui spesifikasi dari setiap jenis/sektor industri, dan berbagai alternatif teknologi yang dapat diterapkan oleh industri yang bersangkutan, dalam rangka mengurangi atau membatasi polusi. Masalahnya, informasi seperti ini sulit didapatkan. B. PAJAK PIGOVIAN DAN SUBSIDI Selain menerapkan regulasi, untuk mengatasi eksternalitas, pemerintah juga dapat menerapkan kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada pendekatan pasar, yang dapat memadukan insentif pribadi/swasta dengan efisiensi sosial. Sebagai contoh, seperti telah disinggung diatas pemerintah dapat menginternalisasikan eksternalitas dengan menggunakan pajak terhadap kegiatan-kegiatan yang menimbulkan eksternalitas negatif, dan sebaliknya memberi subsidi untuk kegiatan-kegiatan yang memunculkan eksternalitas positif. Pajak yang khusus diterapkan untuk mengoreksi dampak dari suatu eksternalitas negatif lazim disebut sebagai Pajak Pigovian (Pigovian tax), mengambil nama ekonom pertama yang merumuskan dan menganjurkannya, yakni Arthur Pigou (1877-1959). Para ekonom umumnya lebih menyukai pajak Pigovian dari pada regulasi sebagai cara untuk mengendalikan polusi, karena biaya penerapan pajak itu lebih murah bagi masyarakat secara keseluruhan. Andaikan ada dua pabrik-pabrik baja dan pabrik kertas-yang masing-masing membuang limbah sebanyak 500 ton per tahun ke sungai. EPA menilai limbah itu terlalu banyak, dan berniat menguranginya. Ada dua pilihan solusi baginya, yakni : • Regulasi : EPA mewajibkan semua pabrik untuk mengurangi limbahnya hingga 300 ton per tahun. • Pajak Pigovian : EPA mengenakan pajak sebesar $50.000 untuk setiap ton limbah yang dibuang oleh setiap pabrik. Regulasi itu langsung membatasi ambang polusi, sedangkan pajak Pigovian memberikan insentif kepada para pemilik pabrik untuk sebanyak mungkin mengurangi polusinya. Menurut pendapat Anda, solusi manakah yang lebih baik ? Para ekonom lebih meyukai penerapan pajak. Mereka yakin penerapan pajak itu sama sekali tidak kalah efektifnya dalam menurunkan polusi. Untuk mencapai ambang polusi tertentu, EPA tinggal menghitung tingkat pajak yang paling tepat untuk diterapkannya. Semakin tinggi tingkat pajaknya, akan semakin banyak penurunan polusi yang akan terjadi. Namun EPA juga harus hati-hati, karena pajaknya terlalu tinggi, polusi akan hilang, karena semua pabrik bangkrut atau memilih tidak beroperasi. Alasan utama para ekonom itu memilih penerapan pajak, adalah karena cara ini lebih efektif menurunkan polusi. Regulasi mewajibkan semua pabrik mengurangi polusinya dalam jumlah yang sama, padahal penurunan sama rata, bukan merupakan cara termurah menurunkan polusi. Ini dikarenakan kapasitas dan keperluan setiap pabrik untuk berpolusi berbeda-beda. Besar kemungkinan salah satu pabrik (misalkan pabrik kertas), lebih mampu (biayanya lebih murah) untuk menurunkan polusi dibanding pabrik lain (pabrik baja). Jika keduanya dipaksa menurunkan polusi sama rata, maka operasi pabrik baja akan terganggu. Namun melalui penerapan pajak, maka pabrik kertas akan segera mengurangi polusinya, karena hal itu lebih murah dan lebih mudah dilakukan dari pada membayar pajak, sedangkan pabrik baja, yang biaya penurunan polusinya lebih mahal, akan memilih membayar pajak saja. Pada dasarnya, pajak Pigovian secara langsung menetapkan harga atas hak berpolusi. Sama halnya dengan kerja pasar yang mengalokasikan berbagai barang ke pembeli, yang memberikan penilaian paling tinggi pajak Pigovian ini juga mengalokasikan hak berpolusi kepada perusahaan atau pabrik, yang paling sulit menurunkan polusinya atau yang dihadapkan pada biaya paling tinggi untuk menurunkan polusi (misalkan karena biaya alat penyaring polusinya sangat mahal). Berapapun target penurunan polusi yang diinginkan EPA akan dapat mencapainya dengan biaya termurah melalui penerapan pajak ini. Para ekonom juga berkeyakinan bahwa penerapan pajak Pigovian, merupakan cara terbaik untuk menurunkan polusi. Pendekatan komando dan kontrol tidak akan memberikan alasan atau insentif bagi pabrik-pabrik pencipta polusi untuk berusaha mengatasi polusi semaksimal mungkin. Seandainya saja polusinya sudah berada dibawah ambang maksimal (misalkan 300 ton per tahun), maka perusahaan itu tidak akan membuang biaya lebih banyak agar polusinya dapat ditekan lebih rendah lagi. Sebaliknya, pajak akan memberikan insentif kepada pabrik-pabrik itu untuk terus mengembangkan teknologi yang ramah terhadap lingkungan. Mereka akan terus terdorong menurunkan polusi, karena semakin sedikit polusi yang mereka ciptakan, akan semakin sedikit pula pajak yang harus mereka bayar. Pajak Pigovian tidaklah sama dengan pajak-pajak lain, dimana kita mengetahui bahwa pajak pada umumnya akan mendistorsikan insentif dan mendorong alokasi sumber daya menjauhi titik optimum sosialnya. Pajak umumnya juga menimbulkan beban baku berupa penurunan kesejahteraan ekonomis (turunnya surplus produsen dan surplus konsumen), yang nilainya lebih besar dari pada pendapatan yang diperoleh pemerintah dari pajak tersebut. Pajak Pigovian tidak seperti itu karena pajak ini memang khusus diterapkan untuk mengatasi masalah eksternalitas. Akibat adanya eksternalitas, masyarakat harus memperhitungkan kesejahteraan pihak lain. Pajak Pigovian diterapkan untuk mengoreksi insentif ditengah adanya eksternalitas, sehingga tidak seperti pajak-pajak lainnya, pajak Pigovian itu justru mendorong alokasi sumber daya mendekati titik optimum sosial. Jadi, selain memberi pendapatan tambahan pada pemerintah, pajak Pigovian ini juga meningkatkan efisiensi ekonomi. IZIN POLUSI YANG DAPAT DIPERJUALBELIKAN Sekarang, mari kita andaikan EPA mengesampingkan saran para ekonom, dan menerapkan pendekatan formal. EPA mengeluarkan peraturan yang mengharuskan setiap pabrik, untuk menurunkan limbahnya hingga 300 ton per tahun. Namun, hanya sehari setelah peraturan itu diumumkan, pimpinan dua perusahaan, yang satu dari pabrik baja dan yang lain dari pabrik kertas, datang ke kantor EPA untuk mengajukan suatu usulan. Pabrik baja perlu menaikkan ambang polusinya 100 ton per tahun. Agar polusi total tidak bertambah, pengelola pabrik kertas bersedia menurunkan polusinya sebanyak itu, asalkan si pemilik pabrik baja memberikan kompensasi $5 juta, dan permintaan ini sudah disanggupi oleh pemilik pabrik baja. Haruskan EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi sendiri? Dari sudut pandang efisiensi ekonomi pemberian izin bagi kedua pabrik tersebut akan menjadi kebijakan yang baik. Kesepakatan antara kedua pabrik itu akan menguntungkan keduanya, karena mereka secara sukarela menyetujuinya. Di samping itu, kesepakatan itu tidak akan mengakibatkan dampak eksternal apa pun, karena batas polusi total tidak dilanggar. Jadi, kesejahteraan total akan meningkat kalau EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi. Logika yang sama yang berlaku untuk setiap transfer hak berpolusi secara sukarela, dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Jika kemudian EPA memangmengizinkan hal itu, maka sesungguhnya EPA telah menciptakan sumber daya langka yang baru, yakni hak berpolusi. Pasar yang memperdagangkan hak berpolusi ini selanjutnya pasti akan tumbuh dan berkembang, dan pada gilirannya, pasar ini akan tunduk pada kekuatan-kekuatan penawaran dan permintaan. Perusahaan-perusahaan yang dihadapkan pada biaya yang sangat tinggi untuk berpolusi, pasti akan aktif dipasar itu, karena bagi mereka, membeli hak berpolusi lebih murah dibanding melakukan investasi baru untuk menurunkan polusi pabrik-pabrik mereka. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang tidak dihadapkan pada kendala yang berat untuk menurunkan polusi, pasti akan senang hati menjual haknya berpolusi karena hal itu akan meberinya pendapatan Cuma-Cuma. Satu keuntungan dari berkembangnya pasar hak berpolusi ini, adalah alokasi/pembagian awal izin berpolusi dikalangan perusahaan tidak akan menjadi masalah, jika ditinjau dari sudut pandang efisien ekonomi. Logika yang melatarbelakangi kesimpulan tersebut mirip dengan mendasari teorema Coase. Perusahaan-perusahaan yang paling mampu menurunkan polusi akan menjual haknya berpolusi, sedangkan perusahaan yang harus mengeluarkan biaya besar untuk menurunkan polusi, akan menjadi pembelinya. Selama pasar hak berpolusi ini dibiarkan bekerja dengan bebas, maka alokasi akhirnya akan lebih efisien dibanding alokasi awalnya, terlepas dari sebaik apa pun alokasi awal tersebut. Meskipun penurunan polusi melalui pemberlakuan izin polusi nampak berbeda kasusnya dari penerapan pajak Pigovian, sesungguhnya dampak akhir dari kedua kebijakan ini akan sama saja. Dalam kedua kasus ini, perusahaan tetap harus membayar atas polusi yang ditimbulkannya. Dalam kasus pajak Pigovian, perusahaan pencipta polusi harus membayar pajak atau semacam denda kepada pemerintah, atas polusi yang ditimbulkannya itu, sedangkan pada kasus izin polusi, perusahaan harus membeli izin itu dari pemerintah. (Bahkan perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki izin polusi tetap harus membayar dalam bentuk lain, yakni biaya oportunitas berpolusi berupa pendapatan yang akan mereka peroleh seandainya mereka menjual izin polusi itu dalam sebuah pasar terbuka). Dengan demikian, penerapan pajak Pigovian maupun izin polusi, sama-sama dapat menginternalisasikan eksternalitas, dengan memaksa perusahaan menanggung ongkos tertentu untuk berpolusi. Kemiripan antara kedua kebijakan itu dapat dilihat secara jelas di pasar polusi. Kedua panel yang terdapat pada gambar dibawah ini sama-sama menunjukkan kurva permintaan atas hak berpolusi. Kurva permintaan ini memperlihatkan bahwa semakin rendah biaya atau harga polusi, akan semakin tinggi permintaan polusi (artinya perusahaan-perusahaan akan lebih leluasa berpolusi, karena biayanya relatif rendah). Selanjutnya pada panel (a) diperlihatkan EPA, dalam rangka mengurangi polusi, langsung menetapkan harga polusi dengan cara memberlakukan pajak Pigovian. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat elastis sempurna (karena perusahaan-perusahaan dapat berpolusi sebanyak pajak yang mereka bayarkan). Disini, kurva permintaan akan menentukan kuantitas polusi. Sedangkan pada panel (b) EPA secara langsung membatasi kuantitas polusi dengan cara menerbitkan sejumlah izin polusi terbatas. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat inelastis sempurna (Karena perusahaan-perusahaan langsung dijatah kuantitas polusinya, sebanyak izin polusi yang ada). Di sini, posisi kurva permintaan akan menentukan harga polusi. Dalam kedua kasus ini, terlepas dari posisi kurva permintaannya, EPA dapat mencapai sembarang titik pada kurva itu, dengan menetapkan harga polusi melalui pajak Pigovian, atau dengan secara langsung membatasi kuantitas polusi melalui penerbitan izin polusi terbatas. Namun dalam beberapa hal, penjualan izin polusi bisa lebih baik dari itu pada penerapan pajak Pigovian. Umpamakan saja EPA suatu ketika ingin membatasi limbah yang dibuang di sungai tidak lebih dari 600 ton. Tetapi karena EPA tidak mengetahui kurva permintaan polusi, maka ia tidak akan dapat memastikan berapa besar pajak yang harus diterapkan untuk mencapai target tersebut. Dalam kasus ini, pemecahan akan diperoleh dengan melelang izin polusi sebanyak 600 ton limbah. Hasil lelang ini akan memberi pendapatan seperti halnya pajak Pigovian.

EKSTERNALITAS PRODUKSI DAN KONSUMSI

A. EKSTERNALITAS DALAM PRODUKSI Perhatikanlah, bahwa dalam melangsungkan kegiatan produksinya, pabrik-pabrik aluminium itu menimbulkan polusi. Untuk setiap aluminium yang mereka produksi, sejumlah asap kotor yang mengotori atmosfer tersembur dari tanur pabrik-pabrik tersebut. Karena asap itu membahayakan kesehatan siapa saja yang menghirupnya, maka asap itu merupakan eksternalitas negatif dalam produksi aluminium. Bagaimana pengaruh eksternalitas negatif ini terhadap efisiensi hasil kerja pasar ? Akibat adanya eksternalitas tersebut, biaya yang harus dipikul masyrakat yang bersangkutan secara keseluruhan dalam memproduksi aluminium lebih tinggi dari pada biaya yang dipikul oleh produsennya. Biaya sosial (social sost) untuk setiap unit aluminium yang diproduksikan, mencakup biaya produksi yang dipikul produsen – biasa disebut “biaya pribadi” (private cost) – plus biaya yang harus ditanggung oleh pihak lain yang ikut mengalami kerugian akibat polusi. Gambar 1-2 menunjukkan besarnya biaya sosial produksi aluminium. Kurva biaya sosial itu berada diatas kurva penawaran, karena di dalamnya tercakup pula biaya-biaya eksternal yang ditimpakan ke pundak masyarakat oleh para produsen aluminium. Nilai atas selisih atau jarak antara kedua kurva itulah yang mencerminkan biaya atau jumlah kerugian akibat polusi dari proses produksi aluminium. Berapa banyak aluminium yang harus diproduksi (agar mencukupi kebutuhan aluminium, sekaligus tidak terlalu banyak menimbulkan polusi) ? Untuk menjawab pertanyaan ini, sekali lagi kita perlu membayangkan apa yang akan dilakukan oleh si pejabat pemerintah yang serba kuasa. Si pejabat ini ingin memaksimalkan surplus total yang dimunculkan pasar- yakni nilai bagi konsumen aluminium dikurangi biaya produksi aluminium. Namun ia juga mengetahui bahwa biaya produksi aluminium juga mencakup biaya-biaya eksternal seperti halnya polusi. Perencana itu ingin mencapai tingkat produksi aluminium yang yang dilambangkan oleh titik perpotongan antara kurva permintaan dan kurva biaya sosial. Titik perpotongan inilah yang melambangkan jumlah produksi aluminium yang optimum bagi masyarakat secara keseluruhan. Si pejabat memang harus mencapai tingkat produksi itu, karena jika produksi ternyata dibawah tingkat itu, maka nilai aluminium bagi konsumennya (diukur oleh ketinggian kurva permintaan) akan melampaui biaya sosial produksinya (diukur oleh ketinggian kurva biaya sosial). Seandainya saja hal ini benar-benar terjadi, maka toleransi terhadap kelebihan produksi seperti polusi itu akan lebih besar sehingga polusi akan cenderung meningkat atau bahkan tidak terkendali. Sebaliknya, jika produksi melebihi tingkat optimum tersebut, maka biaya sosial produksi aluminium akan melebihi nilainya bagi konsumen. Andaikan hal ini yang terjadi, maka permintaan akan melemah, dan harga akan turun sehingga biaya produksi aluminium menjadi terlalu berat bagi produsen. Perhatikanlah bahwa kuantitas produksi aluminium pada kondisi ekuilibrium, yakni QPASAR lebih besar dari pada kuantitas produksi yang secara sosial optimum atau QOPTIMUM Ini merupakan inefisiensi, dan penyebabnya adalah kuantitas produksi dalam kondisi ekuilibrium pasar itu hanya mencerminkan biaya produksi pribadi (yang hanya ditanggung produsen). Dalam ekuilibrium pasar tersebut, nilai aluminium bagi konsumen marginal lebih rendah dari pada biaya sosial produksinya. Artinya, pada QPASAR kurva permintaan terletak dibawah biaya kurva sosial. Pada situasi ini, penurunan konsumsi dan produksi aluminium hingga dibawah tingkat ekuilibriumnya, justru akan menikkan kesejahteraan ekonomi total (baik bagi konsumen maupun produsen). Lalu bagaimana tingkat produksi optimum itu bisa dicapai ? Salah satu caranya adalah dengan mengenakan pajak kepada para produsen, atas setiap ton aluminium yang mereka jual. Pajak ini akan menggeser kurva penawaran aluminium ke atas, sebanyak besaran pajaknya. Jika pajak itu sesuai dengan nilai kerugian akibat asap, maka posisi kurva penawaran itu akan bersesuaian dengan kurva biaya sosial. Maka akan tercipta ekuilibrium baru di pasar, di mana tingkat produksi yang dilakukan para produsen akan optimum secara sosial. Pengenaan pajak yang tepat itu dikatakan mampu menciptakan internalisasi eksternalitas (internalizing an externality), karena pajak tersebut memberi para konsumen dan produsen suatu insentif untuk memperhitungkan dampak-dampak eksternal dari tindakan-tindakan mereka. Produsen akan terdorong untuk menghitung biaya penanggulangan polusi sebagai bagian dari biaya produksi, sebelum mereka memutuskan kuantitas aluminium yang akan mereka produksikan (artinya mereka juga berusaha membatasi polusi yang ditimbulkan oleh proses produksinya, karena mereka harus membayar pajak atas setiap polusi yang tidak dikendalikan. Meskipun banyak pasar dimana biaya sosial produksinya melebihi biaya pribadi, ada pula pasar-pasar yang justru sebaliknya, yakni biaya pribadi para produsen malahan lebih besar dari pada biaya sosialnya. Di pasar inilah, eksternalitasnya bersifat positif, dalam arti menguntungkan pihak lain (selain produsen dan konsumen). Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah pasar robot industri (robot yang khusus dirancang untuk melakukan kegiatan atau fungsi tertentu di pabrik-pabrik). Robot adalah ujung tombak kemajuan teknologi yang mutakhir. Sebuah perusahaan yang mampu membuat robot, akan berkesempatan besar menemukan rancangan-rancangan rekayasa baru yang serba lebih baik. Rancangan ini tidak hanya akan menguntungkan perusahaan yang bersangkutan, namun juga masyarakat secara keseluruhan karena pada akhirnya rancangan itu akan menjadi pengetahuan umum yang bermanfaat. Eksternalitas positif seperti ini biasa disebut “imbasan teknologi” (technology spillover). Analisis atas eksternalitas positif tidak banyak berbeda dari analisis tentang eksternalitas negatif. Gambar 1-3 memperlihatkan pasar robot. Berkat adanya imbasan teknologi, biaya sosial untuk memproduksi sebuah robot lebih kecil dari pda biaya pribadinya. Oleh karena itu, pemerintah tentu saja ingin lebih banyak memproduksi robot dibanding produsernya sendiri. Dalam kasus ini, pemerintah dapat membantu dengan melakukan internalisasi eksternalitas positif tersebut. Caranya misalnya dengan memberikan subsidi untuk setiap unit robot yang dibuat. Melalui subsidi ini, kurva penawaran akan terdorong ke bawah sebesar subsidi, dan pergeseran ini akan menaikkan ekuilibrium kuantitas produksi robot. Agar ekuilibrium pasar yang baru itu sama dengan titik optimum sosial, maka subsidinya harus diusahakan sama dengan nilai imbasan teknologi. B. EKSTERNALITAS DALAM KOMSUMSI Sejauh ini, eksternalitas yang telah kita bahas hanya eksternalitas yang berkaitan dengan kegiatan produksi. Selain itu masih ada eksternalitas yang terkandung dalam kegiatan konsumsi. Konsumsi minuman beralkohol, misalnya, mengandung eksternalitas negatif jika si peminum lantas mengemudikan mobil dalam keadaan mabuk atau setengah mabuk, sehingga membahayakan pemakai jalan lainnya. Eksternalitas dalam konsumsi ini juga ada yang bersifat positif. Contohnya adalah konsumsi pendidikan. Semakin banyak orang yang terdidik, masyarakat atau pemerintahnya akan diuntungkan. Pemerintah akan lebih mudah merekrut tenaga-tenaga cakap, sehingga pemerintah lebih mampu menjalankan fungsinya dalam melayani masyarakat. Analisis terhadap eksternalitas dalam konsumsi ini, mirip dengan yang telah kita lakukan terhadap eksterlitas dalam produksi. Pada gambar 1-4, kurva permintaannya tidak lagi melambangkan nilai sosial dari suatu barang. Panel (a) memperlihatkan kasus eksternalitas negatif dalam konsumsi, Misalnya, konsumsi minuman beralkohol. Dalam kasus ini, nilai sosialnya lebih kecil dari pada nilai pribadinya (private value, atau nilai minuman beralkohol bagi para peminum minuman beralkohol itu sendiri), dan kuantitas penawaran minuman beralkohol yang optimum secara lebih sosial lebih rendah dari pada kuantitas penawaran yang ada di pasar. Sedangkan panel (b) menunjukkan kasus eksternalitas positif dalam konsumsi, misalnya konsumsi pendidikan. Dalam kasus ini, nilai sosial lebih besar dari pada nilai pribadi, dan kuantitas yang ooptimal secara sosial juga lebih besar dari pada kuantitas yang diinginkan pasar secara pribadi (yang diinginkan oleh produsennya saja). Dalam kasus tersebut, pemerintah juga dapat mengoreksi kegagalan pasar tersebut melalui internalisasi eksternalitas. Langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah pada kasus eksterlitas dalam konsumsi ini, mirip dengan yang dapat dikerjakannya pada kasus eksterlitas dalam produksi. Untuk menggerakkan ekuilibrium pasar mendekati titik optimum sosial, keberadaan eksterlitas negatif itu dapat ditekan melalui penerapan pajak, sedangkan untuk eksterlitas positif dapat diimbangi dengan pemberian subsidi. Hal ini sama persis seperti terjadi dalam kenyataannya. Di berbagai negara, pemerintah senantiasa mengenakan pajak terhadap berbagai jenis minuman beralkohol, dan pajaknya biasanya tergolong paling tinggi bila dibandingkan dengan pajak untuk barang-barang konsumsi lainnya. Demikian pula, pemerintah di semua negara selalu berusaha menyubsidi pendidikan melalui pengadaan sekolah negara berbiaya murah (atau bahkan bebas biaya ) dan pemberian beasiswa. Dari berbagai contoh yang diutarakan diatas, kita dapat memetik beberapa kesimpulan umum. Yakni, keberadaan eksternalitas negatif dalam konsumsi maupun produksi, mendorong pasar menghasilkan output produksi dalam kualitas lebih banyak dari pada yang diinginkan secara sosial. Sebaliknya, keberadaan eksternalitas positif dalam konsumsi maupun produksi mendorong pasar menghasilkan output produksi dalam kuantitas lebih sedikit dibanding yang diinginkan secara sosial. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah perlu campur tangan dengan melakukan internalisasi eksternalitas melalui pemberlakuan pajak terhadap barang-barang yang mengandung eksternaliatas negatif, serta memberikan subsidi bagi produksi barang-barang yang mengandung eksternalitas positif.

Jenis dan faktor eksternalitas

JENIS DAN FAKTOR PENYEBAB EKSTERNALITAS A. JENIS-JENIS EKSTERNALITAS Efisiensi alokasi sumber daya dan distribusi konsumsi dalam ekonomi pasar dengan kompetisi bebas dan sempurna bisa terganggu, jika aktivitas dan tindakan individu pelaku ekonomi baik produsen maupun konsumen mempunyai dampak (externality) baik terhadap mereka sendiri maupun terhadap pihak lain. Eksternalitas itu dapat terjadi dari empat interaksi ekonomi berikut ini (Pearee dan Nash, 1991; Bohm, 1991) : 1. Efek atau dampak satu produsen terhadap produsen lain (effects of producers on other producers) 2. Efek atau dampak samping kegiatan produksi terhadap konsumen (effects of producers on consumers) 3. Efek atau dampak dari suatu konsumen terhadap konsumen lain (effects of consumers on consumers) 4. Efek akan dampak dari suatu konsumen terhadap produsen (effects of consumers on producers) 1. Dampak Suatu Produsen Terhadap Produsen Lain Suatu kegiatan produksi dikatakan mempunyai dampak eksternal terhadap produsen lain jika kegiatannya itu mengakibatkan terjadinya perubahan atau penggeseran fungsi produksi dari produsen lain. Dampak atau efek yang termasuk dalam kategori ini meliputi biaya pemurnian atau pembersihan air yang dipakai (eater intake clen-up costs) oleh produsen hilir (downstream producers) yang menghadapi pencemaran air (water polution) yang diakibatkan oleh produsen hulu (upstream producers). Hal ini terjadi ketika produsen hilir membutuhkan air bersih untuk proses produksinya. Dampak kategori ini bisa dipahami lebih jauh dengan contoh lain berikut ini. Suatu proses produksi (misalnya perusahaan pulp) menghasilkan limbah-residu-produk sisa yang beracun dan masuk ke aliran sungai, danau, atau semacamnya, sehingga produksi ikan terganggu dan akhirnya merugikan produsen lain yakni para penangkap ikan (nelayan). Dalam hal ini, kegiatan produksi pulp tersebut mempunyai dampak negatif terhadap produksi lain (ikan) atau nelayan, dan inilah yang dimaksud dengan efek suatu kegiatan produksi terhadap produksi komoditi lain. 2. Dampak Produsen Terhadap Konsumen Suatu produsen dikatakan mempunyai ekternal efek terhadap konsumen, jika aktivitasnya merubah atau menggeser fungsi utilitas rumahtangga (konsumen). Dampak atau efek samping yang sangat populer dari kategori kedua yang populer adalah pencemaran atau polusi. Kategori ini meliputi polusi suara (noise), berkurangnya fasilitas daya tarik alam (amenity) karena pertambangan, bahaya radiasi dari stasiun pembangkit (polusi udara) serta polusi air, yang semuanya mempengaruhi kenyamanan konsumen atau masyarakat luas. Dalam hal ini, suatu agen ekonomi (perusahaan-produsen) yang menghasilkan limbah (wasteproducts) ke udara atau ke aliran sungai mempengaruhi pihak dan agen lain yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh, kepuasan konsumen terhadap pemanfaatan daerah-daerah rekreasi akan berkurang dengan adanya polusi udara. 3. Dampak Konsumen Terhadap Konsumen Lain Dampak konsumen terhadap konsumen yang lain terjadi jika aktivitas seseorang atau kelompok tertentu mempengaruhi atau menggangu fungsi utilitas konsumen yang lain. Konsumen seorang individu bisa dipengaruhi tidak hanya oleh efek samping dari kegiatan produksi tetapi juga oleh konsumsi oleh individu yang lain. Dampak atau efek dari kegiatan suatu seorang konsumen yang lain dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, bisingnya suara alat pemotong rumput tetangga, kebisingan bunyi radio atau musik dari tetangga, asap rokok seseorang terhadap orang sekitarnya dan sebagainya. 4. Dampak Konsumen Terhadap Produsen Dampak konsumen terhadap produsen terjadi jika aktivitas konsumen mengganggu fungsi produksi suatu produsen atau kelompok produsen tertentu. Dampak jenis ini misalnya terjadi ketika limbah rumahtangga terbuang ke aliran sungai dan mencemarinya sehingga menganggu perusahaan tertentu yang memanfaatkan air baik oleh ikan (nelayan) atau perusahaan yang memanfaatkan air bersih. Lebih jauh Baumol dan Oates (1975) menjelaskan tentang konsep eksternalitas dalam dua pengertian yang berbeda : 1. Eksternalitas yang bisa habis (a deplatable externality) yaitu suatu dampak eksternal yang mempunyai ciri barang individu (private good or bad) yang mana jika barang itu dikonsumsi oleh seseorang individu, barang itu tidak bisa dikonsumsi oleh orang lain. 2. Eksternalitas yang tidak habis (an udeplatable externality) adalah suatu efek eksternal yang mempunyai ciri barang publik (public goods) yang mana barang tersebut bisa dikonsumsi oleh seseorang, dan juga bagi orang lain. Dengan kata lain, besarnya konsumsi seseorang akan barang tersebut tidak akan mengurangi konsumsi bagi yang lainnya. Dari dua konsep eksternalitas ini, eksternalitas jenis kedua merupakan masalah pelik dalam ekonomi lingkungan. Keberadaan eksternalitas yang merupakan barang publik seperti polusi udara, air, dan suara merupakan contoh eksternalitas jenis yang tidak habis, yang memerlukan instrumen ekonomi untuk menginternalisasikan dampak tersebut dalam aktivitas dan analisa ekonomi. B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB EKSTERNALITAS Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumber daya publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak pemilikan atau pengusahaan sumber daya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang. Bagaimana mekanisme timbulnya eksternalitas dan ketidakefisienan dari alokasi sumber daya sebagai akibat dari adanya faktor diatas diuraikan satu per satu berikut ini. 1. Keberadaan Barang Publik Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut. Selanjutnya, barang publik sempurna (pure public good) didefinisikan sebagai barang yang harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat. Kajian ekonomi sumber daya dan lingkungan salah satunya menitikberatkan pada persoalan barang publik atau barang umum ini (common consumption, public goods, common property resources). Ada dua ciri utama dari barang publik ini. Pertama, barang ini merupakan konsumsi umum yang dicirikan oleh penawaran gabungan (joint supply) dan tidak bersaing dalam mengkonsumsinya (non-rivalry in consumption). Ciri kedua adalah tidak ekslusif (non-exclusion) dalam pengertian bahwa penawaran tidak hanya diperuntukkan untuk seseorang dan mengabaikan yang lainnya. Barang publik yang berkaitan dengan lingkungan meliputi udara segar, pemandangan yang indah, rekreasi, air bersih, hidup yang nyaman dan sejenisnya. Satu-satunya mekanisme yang membedakannya adalah dengan menetapkan harga (nilai moneter) terhadap barang publik tersebut sehingga menjadi bidang privat (dagang) sehingga benefit yang diperoleh dari harga itu bisa dipakai untuk mengendalikan atau memperbaiki kualitas lingkungan itu sendiri. Tapi dalam menetapkan harga ini menjadi masalah tersendiri dalam analisa ekonomi lingkungan. Karena ciri-cirinya diatas, barang publik tidak diperjualbelikan sehingga tidak memiliki harga, barang publik dimanfaatkan berlebihan dan tidak mempunyai insentif untuk melestarikannya. Masyarakat atau konsumen cenderung acuh tak acuh untuk menentukan harga sesungguhnya dari barang publik ini. Dalam hal ini, mendorong sebagain masyarakat sebagai “free rider”. Sebagai contoh, jika si A mengetahui bahwa barang tersebut akan disediakan oleh si B, maka si A tidak mau membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh si B, maka si A tidak mau membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh si B. Jika akhirnya si B berkeputusan untuk menyediakan barang tersebut, maka si A bisa ikut menikmatinya karena tidak seorangpun yang bisa menghalanginya untuk mengkonsumsi barang tersebut, karena sifat barang publik yang tidak ekslusif dan merupakan konsumsi umum. Keadaan seperti ini akhirnya cenderung mengakibatkan berkurangnya insentif atau rangsangan untuk memberikan kontribusi terhadap penyediaan dan pengelolaan barang publik. Kalaupun ada kontribusi, maka sumbangan itu tidaklah cukup besar untuk membiayai penyediaan barang publik yang efisien, karena masyarakat cenderung memberikan nilai yang lebih rendah dari yang seharusnya (undervalued). 2. Sumber Daya Bersama Keberadaan sumber daya bersama–SDB (common resources) atau akses terbuka terhadap sumber daya tertentu ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan barang publik diatas. Sumber-sumber daya milik bersama, sama halnya dengan barang-barang publik, tidak ekskludabel. Sumber-sumber daya ini terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya, dan Cuma-Cuma. Namun tidak seperti barang publik, sumber daya milik bersama memiliki sifat bersaingan. Pemanfaatannya oleh seseorang, akan mengurangi peluang bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Jadi, keberadaan sumber daya milik bersama ini, pemerintah juga perlu mempertimbangkan seberapa banyak pemanfaatannya yang efisien. Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus SDB ini adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1968) yang dikenal dengan istilah Tragedi Barang Umum (the Tragedy of the Commons). TRAGEDI BARANG UMUM Andaikanlah anda hidup di sebuah kota kecil di abad pertengahan. Dari sekian banyak kegiatan ekonomi yang berlangsung di kota itu, yang paling menonjol adalah pemeliharaan domba. Banyak keluarga di kota itu yang mengandalkan asap dapurnya, dari pemeliharaan domba yang mereka ambil bulunya ( wol ) untuk dijual sebagai bahan pakaian. Domba-domba itu dilepas begitu saja di lahan rumput penggembalaan yang mengelilingi Kota Umum. Tidak ada yang memiliki lahan tersebut, bahkan lahan itu sudah dianggap milik bersama, sehingga setiap orang bisa melepas kawanan dombanya ke sana untuk memakan rumputnya. Selama ini kepemilikan bersama itu tidak menimbulkan masalah. Selama setiap orang bisa memperoleh sebidang lahan untuk menggembalakan dombanya, Kota Umum itu tidak bersifat bersaingan. Siapa saja bisa memanfaatkannya tanpa biaya. Pokoknya tidak ada masalah. Lambat laun, seiring dengan waktu, jumlah penduduk dan jumlah domba di Kota Umum terus bertambah, sedangkan lahan penggembalaan tidak bertambah luas. Karena jumlah domba yang memakan rumputnya sedemikian banyak, pada akhirnya padang rumput itu kehilangan kemampuan dan kesempatan untuk memulihkan diri. Belum sempat rumput baru tumbuh, sudah ada banyak domba yang menunggunya, sehingga pada akhirnya padang rumput itu pun menjadi padang gersang. Tanpa rumput, tidak mungkin pemeliharaan domba secara masal berlangsung terus. Jumlah domba pun segera menyusut, dan pada gilirannya Industri wol di kota Umum juga ditutup. Banyak keluarga di kota itu yang kehilangan mata pencaharian. Apa sesungguhnya yang menimbulkan tragedi itu ? Mengapa penduduk membiarkan populasi domba bertambah begitu cepat sehingga justru menghancurkan lahan penggembalaan Kota Umum ? Jawabannya bersumber pada perbedaan antara insentif pribadi dan insentif sosial. Pencegahan padang rumput di Kota Umum berubah menjadi padang pasir hanya dapat terjadi jika semua pemilik domba bekerja sama mengupayakan hal itu secara kolektif. Hanya dengan kerja sama, para pemilik domba itu dapat mengatur keseluruhan populasi hewan ternaknya agar tidak melebih daya dukung padang. Rumput itu. Namun secara individual, masing-masing keluarga pemilik domba tidak memiliki insentif untuk memulai usaha mulia tersebut, karena mereka, secara individual hanya merupakan bagian dari seluruh penduduk pemilik domba. Disamping itu jika tidak diikuti oleh yang lain, kesadaran suatu keluarga untuk membatasi jumlah dombanya juga tidak akan ada gunanya. Pada intinya, Tragedi Barang Umum terjadi akibat adanya masalah eksternalitas. Pada saat sebuah keluarga mengiring domba-dombanya ke padang rumput itu, maka kesempatan keluarga lain untuk melakukan hal yang sama menjadi berkurang. Mengingat masing-masing keluarga mengabaikan dampak eksternal dalam memutuskan jumlah domba yang hendak dipelihara, maka pada akhirnya jumlah domba secara keseluruhan menjadi terlalu banyak. Jika mau berpikir lebih panjang, penduduk Kota Umum sebenarnya bisa mencegah terjadinya tragedi itu. Mereka bisa berembug bersama untuk menentukan jumlah maksimal domba yang yang dapat dipelihara oleh setiap keluarga. Atau, mereka bisa menginternalisasikan eksternalitas itu, dengan cara mengenakan pajak kepemilikkan domba, atau menerbitkan dan melelang izin penggembalaan terbatas. Artinya, penduduk kota di abad pertengahan itu bisa mngatasi masalah pemanfaatan padang rumput secara berlebihan, dengan cara seperti yang ditempuh masyarakat modern untuk memecahkan persoalan polusi. Bahkan sebenarnya ada solusi yang lebih sederhana untuk Kota Umum. Mereka dapat membagi-bagi lahan penggembalaan itu kepada masing-masing keluarga. Setia keluarga mendapat sebidang lahannya sendiri. Dengan cara ini, status padang rumput akan berubah dari sumber daya milik bersama menjadi barang pribadi, sehingga masing-masing keluarga akan berusaha agar lahannya terus ditumbuhi rumput secara berkesinambungan. Para pendatang juga tidak akan ikut memelihara domba-domba baru, karena lahan penggembalaannya sudah habis terbagi. Dalam kenyataannya, hal inilah yang terjadi di Inggris pada abad ketujuhbelas. Ada satu pelajaran penting yang terkandung dalam kisah Tragedi Barang Umum ini, yakni pada saat seseorang memanfaatkan suatu sumber daya milik bersama, pada saat itu pula ia mengurangi kesempatan bagi orang lain untuk melakukan tindakan serupa. Akibat adanya eksternalitas negatif, pemanfaatan setiap sumber daya milik bersama selalu cenderung berlebihan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dapat menerapkan regulasi atau memberlakukan pajak. Atau, pemerintah bisa mengubah sumber daya milik bersama itu menjadi barang swasta. Pelajaran dasar ini ternyata sudah diketahui sejak ribuan tahun yang lampau. Filsuf Yunani kuno, Aristoteles, pernah mengutarakan masalah yang terkandung dalam sumber daya milik bersama : “Apa yang diperuntukkan bagi orang banyak, tidak akan dipelihara secara memadai, karena semua orang mengutamakan kepentingannya sendiri dibanding kepentingan orang lain”. 3. Ketidaksempurnaan Pasar Masalah lingkungan bisa juga terjadi ketika salah satu partisipan didalam suatu tukar manukar hak-hak kepemilikan (property rights) mampu mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome). Hal ini bisa terjadi pada pasar yang tidak sempuna (Inperfect Market) seperti pada kasus monopoli (penjual tunggal). Ketidaksempurnaan pasar ini misalnya terjadi pada praktek monopoli dan kartel. Contoh konkrit dari praktek kartel ini adalah Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dengan memproduksi dalam jumlah yang lebih sedikit sehingga mengakibatkan meningkatknya harga yang lebih tinggi dari normal. Pada kondisi yang demikian akan hanya berakibat terjadinya penignkatan surplus produsen yang nilainya jauh lebih kecil dari kehilangan surplus konsumen, sehingga secara keseluruhan, praktek monopoli ini merugikan masyarakat (worse-off). 4. Kegagalan Pemerintah Sumber ketidakefisienan dan atau eksternalitas tidak saja diakibatkan oleh kegagalan pasar tetapi juga karena kegagalan pemerintah (government failure). Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan kepentinan pemerintah sendiri atau kelompok tertentu (interest groups) yang tidak mendorong efisiensi. Kelompok tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari keuntungan (rent seeking) melalui proses politik, melalui kebijaksanaan dan sebagainya. Aksi pencarian keuntungan (rent seeking) bisa dalam berbagai bentuk : 1. Kelompok yang punya kepentingan tertentu (interest groups) melakukan loby dan usaha-usaha lain yang memungkinkan diberlakukannya aturan yang melindungi serta menguntungkan mereka 2. Praktek mencari keuntungan bisa juga berasal dari pemerintah sendiri secara sah misalnya memberlakukan proteksi berlebihan untuk barang-barang tertentu seperti menegnakan pajak impor yang tinggi dengan alasan meningkatkan efisiensi perusahaan dalam negeri. 3. Praktek mencari keuntungan ini bisa juga dilakukan oleh aparat atau oknum tertentu yang emmpunyai otoritas tertentu, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan bisa memberikan uang jasa atau uang pelicin untuk keperluan tertentu, untuk menghindari resiko yang lebih besar kalau ketentuan atau aturan diberlakukan dengan sebenarnya. Praktek mencari keuntungan ini membuat alokasi sumber daya menjadi tidak efisien dan pelaksanaan atuan-aturan yang mendorong efisiensi tidak berjalan dengan semestinya. Praktek jenis ini bisa mendorong terjadinya eksternalitas. Sebagi contoh, Perusahaaan A yang mengeluarkan limbah yang merusak lingkungan. Berdasarkan perhitungan atau estimasi perusahaan A harus mengeluarkan biaya (denda) yang besar (misalnya Rp. 1 milyar) untuk menanggulangi efek dari limbah yang dihasilkan itu. Pencari keuntungan (rent seeker) bisa dari perusahaan itu sendiri atau dari pemerintah atau oknum memungkinkan membayar kurang dari 1 milyar agar peraturan sesungguhnya tidak diberlakukan, dan denda informal ini belum tentu menjadi revenue pemerintah. Sehingga akhirnya dampak lingkungan yang seharusnya diselidiki dan ditangani tidak dilaksanakan dengan semestinya sehingga masalahnya menjadi bertambah serius dari waktu ke waktu.